Di tepi Danau Galilea, Yesus memanggil Simon untuk mengikuti-Nya. Ia akan dijadikan penjala manusia (Mrk. 1:16-20). Simon kemudian diberi nama Kefas atau Petrus yang berarti batu wadas atau batu karang (Mrk. 3:16). Nama tersebut sebagai tanda bahwa dialah ketua para rasul dan landasan Gereja yang akan didirikan oleh Kristus (Mrk. 8:29).
Petrus adalah ketua sekaligus juru bicara para murid dalam peristiwa-peristiwa penting. Dia juga orang yang pertama kali menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, yakni Kristus (Mrk. 8:29). Petrus ikut menyaksikan peristiwa transfigurasi atau pemuliaan Yesus (Mrk. 9:2-3). Namun, peristiwa penyangkalan terhadap Yesus sampai tiga kali ketika Yesus diadili merupakan pengalaman yang sangat memalukan. Pengalaman ini menumbuhkan penyesalan yang amat pahit baginya (Mrk. 14:72). Pengalaman memalukan itu diceritakan oleh Petrus kepada Markus (penginjil) bukan tanpa tujuan.
Di balik penyangkalan tersebut, ada sesuatu yang ingin disampaikan Petrus kepada kita. Tidak ada orang lain yang menjadi saksi atas peristiwa penyangkalan tersebut. Kisah yang sungguh memalukan dari seorang pemimpin komunitas tidak mungkin terus beredar seperti itu jika tidak memiliki nilai kebenaran dan pesan yang penting. Kisah penyangkalan Petrus bisa menjadi sebuah pelajaran yang tepat dan mengesankan bagi para pemimpin lainnya untuk berani mengakui kelemahan-kelemahan mereka sendiri. Dalam permenungan Petrus atas kisah penyangkalannya, Petrus sadar bahwa penyangkalan itu bisa menjadi rahmat dalam perjalanan hidupnya. Bagi Petrus, dengan mengisahkan kembali pengalaman pahit itu, dia berharap orang lain pun bisa belajar menyadari kelemahan mereka sebagai rahmat yang terselubung.[1]
Secara sepintas, kisah penyangkalan Petrus memang merupakan suatu peristiwa kegagalan. Namun, justru dengan kegagalan inilah Petrus sadar bahwa kekuatan manusiawi tidak bisa diandalkan tanpa bantuan rahmat Tuhan. Hal ini menjadi jelas di akhir kisah penyangkalan Petrus ketika dia menyadari dosanya kemudian menangis tersedu-sedu (bdk. Mrk. 14:72). Air mata Petrus adalah suatu tanda penyesalan yang sangat mendalam. Bagi Petrus, penyesalannnya bukanlah akhir dari semuanya, melainkan sebuah permulaan. Dalam pengalaman umat kristiani, pencarian akan arti hidup yang sejati selalu dimulai dengan air mata (baca: derita perjuangan). Keadaan inilah yang merupakan permulaan dari rahmat Allah. Ketika Petrus menangis tersedu-sedu, semua kebanggaan, harga diri, dan kepercayaan dirinya runtuh seketika. Yang tersisa dari Petrus hanyalah rasa bersalah dan kerendahan hati. Perasaan hatinya kini mengantarnya pada penyesalan dan pertobatan. Dia menyesali dosa-dosanya dan bergantung sepenuhnya pada belas kasih Allah semata. Keadaan ini merupakan titik awal bagi Petrus untuk menjadi murid yang sejati.[2]
Kisah Penyangkalan Petrus
Nubuat
Kisah penyangkalan Petrus merupakan salah satu bagian penting kisah sengsara dalam Injil Markus. Penyangkalan Petrus dinubuatkan oleh Yesus dalam Mrk. 14:30. Penyangkalan ini dikisahkan secara detail dalam Mrk. 14:54, 66-72. Kisah ini merupakan pengantar perjalanan Yesus menuju peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya. Petrus sebagai tokoh protagonis memiliki peran penting saat Yesus dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Agama (Mrk. 14:53, 55-65).[3]
Nubuat penyangkalan Petrus disampaikan Yesus kepada para murid dalam perjalanan ke Bukit Zaitun. Kisah ini (Mrk. 14:26-31) merupakan penutup kisah perjamuan malam terakhir. Isi dari perikop tersebut ialah sebagai berikut:
Setelah Yesus ditangkap, Petrus mengikuti Yesus dari jauh, sampai ke halaman rumah Imam Besar, dan di sana ia duduk di antara pengawal-pengawal sambil menghangatkan badan dekat api. Serentak pada waktu Mahkamah Agama mencari akal untuk menyatakan Yesus sebagai penjahat yang layak dihukum
Petrus adalah ketua sekaligus juru bicara para murid dalam peristiwa-peristiwa penting. Dia juga orang yang pertama kali menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, yakni Kristus (Mrk. 8:29). Petrus ikut menyaksikan peristiwa transfigurasi atau pemuliaan Yesus (Mrk. 9:2-3). Namun, peristiwa penyangkalan terhadap Yesus sampai tiga kali ketika Yesus diadili merupakan pengalaman yang sangat memalukan. Pengalaman ini menumbuhkan penyesalan yang amat pahit baginya (Mrk. 14:72). Pengalaman memalukan itu diceritakan oleh Petrus kepada Markus (penginjil) bukan tanpa tujuan.
Di balik penyangkalan tersebut, ada sesuatu yang ingin disampaikan Petrus kepada kita. Tidak ada orang lain yang menjadi saksi atas peristiwa penyangkalan tersebut. Kisah yang sungguh memalukan dari seorang pemimpin komunitas tidak mungkin terus beredar seperti itu jika tidak memiliki nilai kebenaran dan pesan yang penting. Kisah penyangkalan Petrus bisa menjadi sebuah pelajaran yang tepat dan mengesankan bagi para pemimpin lainnya untuk berani mengakui kelemahan-kelemahan mereka sendiri. Dalam permenungan Petrus atas kisah penyangkalannya, Petrus sadar bahwa penyangkalan itu bisa menjadi rahmat dalam perjalanan hidupnya. Bagi Petrus, dengan mengisahkan kembali pengalaman pahit itu, dia berharap orang lain pun bisa belajar menyadari kelemahan mereka sebagai rahmat yang terselubung.[1]
Kisah Penyangkalan Petrus
Nubuat
Kisah penyangkalan Petrus merupakan salah satu bagian penting kisah sengsara dalam Injil Markus. Penyangkalan Petrus dinubuatkan oleh Yesus dalam Mrk. 14:30. Penyangkalan ini dikisahkan secara detail dalam Mrk. 14:54, 66-72. Kisah ini merupakan pengantar perjalanan Yesus menuju peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya. Petrus sebagai tokoh protagonis memiliki peran penting saat Yesus dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Agama (Mrk. 14:53, 55-65).[3]
Nubuat penyangkalan Petrus disampaikan Yesus kepada para murid dalam perjalanan ke Bukit Zaitun. Kisah ini (Mrk. 14:26-31) merupakan penutup kisah perjamuan malam terakhir. Isi dari perikop tersebut ialah sebagai berikut:
26 Sesudah mereka menyanyikan nyanyian pujian, pergilah mereka ke Bukit Zaitun. 27 Lalu Yesus berkata kepada mereka: "Kamu semua akan tergoncang imanmu. Sebab ada tertulis: Aku akan memukul gembala dan domba-domba itu akan tercerai-berai. 28 Akan tetapi sesudah Aku bangkit, Aku akan mendahului kamu ke Galilea." 29 Kata Petrus kepada-Nya: "Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak." 30 Lalu kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada hari ini, malam ini juga, sebelum ayam berkokok dua kali, engkau telah menyangkal Aku tiga kali." 31 Tetapi dengan lebih bersungguh-sungguh Petrus berkata: "Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau." Semua yang lainpun berkata demikian juga.
Setelah Yesus ditangkap, Petrus mengikuti Yesus dari jauh, sampai ke halaman rumah Imam Besar, dan di sana ia duduk di antara pengawal-pengawal sambil menghangatkan badan dekat api. Serentak pada waktu Mahkamah Agama mencari akal untuk menyatakan Yesus sebagai penjahat yang layak dihukum
Pada bagian awal, kata-kata Yesus ditujukan kepada semua murid. Sementara dalam bagian kedua, Yesus berbicara langsung kepada Petrus, “Aku berkata kepadamu.” Perhatian Petrus terpusat pada nubuat Yesus bahwa semua murid akan terguncang imannya. Apabila nubuat itu hanya mengenai diri Yesus sendiri, tidak akan ada masalah besar. Namun, karena nubuat tersebut menyangkut semua murid, nubuat ini menjadi berita yang sangat mengejutkan. Petrus tidak menutup kemungkinan bahwa nubuat Yesus akan terpenuhi, tetapi dia menegaskan adanya pengecualian pada dirinya sendiri. Dalam hal ini, Petrus memisahkan diri dari kelompok para murid yang akan terguncang imannya.[4]
Dalam Mrk. 14:30, terdapat tiga petunjuk waktu: “hari ini”, “malam ini”, dan “sebelum ayam berkokok dua kali”. Petunjuk waktu “hari ini” menunjukkan bahwa penyangkalan Petrus akan terjadi pada hari yang sama ketika Yesus menyatakan nubuat-Nya. Makna “hari ini” dalam Mrk. 14:30 dijelaskan oleh petunjuk waktu yang mengikutinya. Petunjuk waktu berikutnya adalah “malam hari”. Kata “malam” pada kutipan Injil mengacu pada malam yang sangat penting dalam Injil Markus, yaitu waktu yang dimulai dari menjelang malam (Mrk. 14:17) sampai menjelang pagi (Mrk. 15:1). Dalam rentang waktu dua garis pembatas itu, peristiwa yang terjadi adalah percakapan Yesus dengan murid-murid-Nya dalam perjalanan ke Bukit Zaitun (Mrk. 14:27-31); Yesus berdoa di Taman Getsemani (Mrk. 14:32-41); kisah penangkapan Yesus (Mrk. 14:43-52); dan pengadilan terhadap Yesus dan penyangkalan Petrus (Mrk.14:53-72). Petunjuk berikutnya ialah “sebelum ayam berkokok dua kali”. Dalam tradisi Yahudi, ada tiga macam kokok ayam yang menandai tiga bagian waktu dalam jaga malam. Yang pertama, terjadi kurang lebih setengah jam sesudah tengah malam. Yang kedua kurang lebih sejam kemudian. Yang ketiga kurang lebih satu jam kemudian. Kokok ayam sebagai tanda berakhirnya malam dan permulaan pagi. Dapat dikatakan bahwa ayam-ayam jago di Yerusalem berkokok secara cukup tertib dengan durasi kurang lebih 3-5 menit lalu diam lagi.[5]
Dalam Mrk. 14:30, terdapat “dua kali” (seekor ayam berkokok) dan “tiga kali” (engkau akan menyangkal Aku). Kedua peristiwa itu menunjukkan bahwa tidak ada jarak waktu yang terlalu lama antara sebelum mendengar kokok ayam yang kedua dan Petrus yang melakukan penyangkalan tiga kali. Secara singkat, kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa ketiga petunjuk waktu (“hari ini”, “malam ini”, dan “sebelum ayam berkokok dua kali”) mengatakan bahwa peristiwa yang dinubuatkan oleh Yesus akan segera terjadi.
Adegan Penyangkalan Petrus[6]
Adegan Petrus menyangkal Yesus disajikan dalam Mrk. 14:66-72. Perikop tersebut ialah sebagai berikut.
Setelah Yesus ditangkap, Petrus mengikuti Yesus dari jauh, sampai ke halaman rumah Imam Besar, dan di sana ia duduk di antara pengawal-pengawal sambil menghangatkan badan dekat api. Serentak pada waktu Mahkamah Agama mencari akal untuk menyatakan Yesus sebagai penjahat yang layak dihukum mati, di perkarangan rumah Imam Besar, Petrus sedang menyangkal Yesus. Boleh dikatakan bahwa pada saat yang sama, pihak yang berlain-lainan mempertanyakan identitas Yesus dan Petrus. Tetapi, Yesus mengakui identitas-Nya, sehingga dihukum mati, lalu diludahi, ditinju, dipukul, dan dipermainkan, sedangkan Petrus sebaliknya, merahasiakan identitasnya, sehingga “selamat” dari bahaya maut, namun masuk perangkap Iblis.
Menurut berita yang dicatat dalam Injil Yohanes, hamba wanita yang mengenal Petrus itu bekerja sebagai “penjaga pintu”. Ia pasti tidak mengambil bagian dalam peristiwa penangkapan Yesus. Tetapi, kiranya dapat dipastikan bahwa ia pernah melihat Petrus bersama Yesus. Pengamatannya tajam sekali, demikian pun kata-katanya, “Engkau juga selalu bersama dengan Yesus, orang Nazaret itu”. Ia jelas-jelas memojokkan Petrus. Maksudnya bukan hanya memberitahukan bahwa ia pernah melihat Petrus bersama Yesus, melainkan bahwa Petrus memang murid Yesus, sebab selalu berelasi dengan-Nya, mengikuti-Nya. Sayang sekali, Petrus menyangkal. Ia mengucapkan sebuah rumus penyangkalan yang memang dibenarkan oleh hukum para rabi Yahudi, yaitu “Aku tidak tahu apa yang Anda katakan!” Namun, dengan menolak adanya relasi antara dirinya dengan Yesus, Petrus menyangkal-Nya pula. Padahal, sebelumnya Petrus berani berkata, “Biarpun mereka semua terguncang imannya, aku tidak!”
Dia begitu yakin bahwa imannya kukuh. Dia begitu mengandalkan dirinya sebagai manusia yang taat kepada Yesus dan setia kepada-Nya. Tetapi, ia tampaknya lupa bahwa saat manusia merasa sangat tidak aman, ia biasanya takut sekali. Lalu terjadilah hal yang selalu sama, yaitu daripada mengandalkan Tuhan, manusia mencari manusia lain yang kiranya masih dapat diandalkannya. Petrus rupanya tidak menemukan seorang pun yang dapat dipercaya, sehingga ia meninggalkan tempatnya dan pergi ke serambi muka. Ia pasti mendengar kokok ayam. Tetapi, pada saat itu ia barangkali belum insaf juga. Sebab kokok ayam dini hari tidak terlalu diperhatikan seorang pun!
Petrus menghindari orang-orang yang tadi sempat mendengar pernyataan hamba perempuan itu. Lebih-lebih dihindarinya perempuan yang tajam pengamatannya itu! Tetapi, ternyata ia tidak bisa luput dari serangan selanjutnya. Diam-diam perempuan itu mengikuti Petrus, memperhatikan tingkah-lakunya, lalu mengubah taktik. Ia tidak menegur Petrus lagi, tetapi langsung berbicara kepada orang-orang di sekitarnya, “Orang ini adalah salah seorang dari mereka!” Perempuan itu tidak perlu memberi penjelasan lebih lanjut. Sebab semua orang di halaman rumah Imam Besar langsung tahu, siapa yang dimaksudkan dengan “mereka” itu. Biarpun Yesus tidak terlalu lama berkarya di bumi Palestina, Ia berhasil mengumpulkan sejumlah orang yang mengikuti-Nya dengan setia. Namun, kali ini pula, mungkin dengan kata yang sama seperti tadi, Petrus tidak rela mengakui keterlibatannya dalam “gerakan Yesus”.
Orang-orang Galilea memang berdialek khas. Bahasa Yahudi menggunakan banyak bunyi letupan yang tampaknya agak sulit diucapkan oleh penduduk utara Palestina. Maka, begitu mulai bersuara, begitu pula diketahuilah bahwa Petrus berasal dari Galilea. Celakanya lagi, Galilea dan para penduduknya selalu dilecehkan di Yerusalem, lebih-lebih setelah “si pemberontak dari Galilea” sudah ditangkap.
Kali ini Petrus menyangkal dengan penuh emosi. Sebab ia harus menanggapi tuduhan dari sekelompok orang di sekelilingnya. “(Aku bersumpah bahwa aku mengatakan kebenaran) Aku tidak kenal orang yang kamu sebut-sebut itu!” katanya. Dan ucapan itu diperkuatnya dengan kutukan dan sumpah. Ia tidak mengutuk orang lain melainkan dirinya sendiri sebagai bukti bahwa ia tidak bohong. Dalam ucapan Petrus itu, ada kelugasan yang terang-terangan. Petrus menjawab dengan emosi dengan menyatakan bahwa ia mengatakan kebenaran, dan bersamaan dengan itu ia berbohong. Ia memanggil Allah sendiri sebagai saksi atas kebenaran kata-katanya. Jika Allah menanggapi kata-katanya, Petrus akan terpuruk ke dalam titik dasar yang begitu dalam. Ia berdiri sebagai pengkhianat yang memalukan.[8]
Yang mengherankan ialah bahwa Petrus begitu ketakutan, sehingga ia malah tidak berani menyebut nama Yesus. Jadi, kali ini ia benar-benar malu sebagai pengikut Yesus. Mungkin tidak lama kemudian Petrus teringat akan kata-kata yang pernah diucapkan oleh Yesus, “Siapa malu karena Aku ..., Anak Manusia pun akan malu karena orang itu” (Mrk. 8:38). Petrus menyangkal Yesus secara meriah sekali, sambil bersumpah! Sementara Petrus mengutuk dirinya dan bersumpah, terdengarlah kokok ayam untuk kedua kalinya.
Belajar dari Kegagalan Petrus
Kisah sengsara dalam Injil Markus termuat secara utuh dalam Mrk. 14:1-15:47. Jika dibandingkan antara kisah sengsara dalam Injil Markus dengan kisah sengsara dalam Injil Matius, Lukas, dan Yohanes, kisah sengsara dalam Injil Markus tampak lebih kelam, suram, dan penuh tragedi dengan jelas. Dalam kisah sengsara, tampak bahwa Markus menunjukkan kontras antara Yesus dan para murid (secara khusus Petrus) dengan sangat detail. Dalam situasi yang sama, mereka ditampilkan dengan sikap yang sangat berbeda.[9]
Dalam rangkaian peristiwa Kisah Sengsara sampai pemakaman Yesus (Mrk. 15:1-16:8), ketidakhadiran para murid secara jelas ditampilkan. Ketika Yesus dijatuhi hukuman mati, disalibkan sampai dimakamkan, tak satu pun hal yang dikatakan tentang para murid karena tak seorang pun dari mereka yang hadir. Sebaliknya, orang lainlah yang mengambil peran yang seharusnya mereka lakukan. Orang lain tersebut adalah Simon dari Kirene yang membantu memanggul salib Yesus (Mrk. 15:21); kepala pasukan yang mengakui identitas Yesus (Mrk. 15:39); para wanita yang menyertai Yesus sampai wafat (Mrk. 15:40-41); Yusuf Arimatea yang memakamkan jenazah Yesus (Mrk. 15:42-46); dan para wanita yang pergi ke makam (Mrk.16:1-6).[10]
Kegagalan adalah pengalaman manusiawi yang lumrah. Semua orang dalam kadar dan bentuk yang berbeda-beda pasti pernah mengalaminya. Pada umumnya, pengalaman kegagalan tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Pengalaman kegagalan ini bisa dengan mudah membuat orang kecewa, malu, atau bahkan putus asa. Dengan kata lain, pengalaman ini dengan mudah dapat melumpuhkan bahkan mematikan. Namun, apabila pengalaman yang sama diterima dengan tulus dan dimaknai dengan benar, ternyata mempunyai daya pembebasan. Pengalaman para murid, secara khusus Petrus, dalam Injil Markus dengan sangat jelas memperlihatkan suatu kegagalan dalam usaha mengikuti Yesus sampai akhir. Meskipun para murid telah berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti Yesus, mereka juga mengalami keterbatasan manusiawi sehingga jatuh ke dalam pencobaan yang sangat berat dan menyakitkan (bdk. Mrk. 14:50 dan Mrk. 14:66-72). Namun, Yesus tidak membiarkan para murid sendirian dalam keputusasaan. Yesus tetap memanggil mereka untuk bangkit kembali menjadi murid yang sejati. Kegagalan tidak membatalkan panggilan Yesus kepada para murid-Nya. Para murid dipanggil kembali untuk terus mengikuti Yesus. Oleh karena itu, kita, murid-murid Yesus sekarang, bisa mendapat pelajaran yang sangat berharga dari pengalaman kegagalan Petrus dan teman-temannya dalam mengikuti Yesus. Ketidakpahaman dan kesombongan mereka bisa menjadi peringatan bagi kita untuk tidak jatuh ke dalam kesalahan yang sama. Kegagalan tidak akan membuat kita putus asa. Sebaliknya, keberhasilan tidak boleh membuat kita sombong. Kegagalan demi kegagalan bisa saja menimpa murid Kristus, tetapi kita setiap kali harus mampu memulai atau bangkit lagi.[11]
Petrus ternyata gagal mengakui Yesus dan mempertahankan relasinya dengan Yesus. Petrus menyangkal bahwa dia mengenal dan menjadi salah satu dari murid Yesus. Karena sadar bahwa dirinya terancam, Petrus tidak berani mengikuti Yesus sampai ke salib. Petrus berbeda dari Yesus yang tanpa gentar sedikitpun menyatakaan identitas Diri-Nya di hadapan pengadilan Mahkamah Agama meskipun Dia tahu konsekuansi dari tindakan-Nya adalah hukuman mati. Menjadi murid Yesus berarti tidak hanya sekadar mengakui Yesus, tetapi juga harus berani mengikuti Dia sampai akhir. Penyangkalan Petrus adalah suatu contoh sikap yang hanya berani mengakui Yesus dengan kata-kata tanpa tindakan nyata. Pada kenyataannya, Petrus tidak berani menyerti Dia sampai akhir.
Arti kemuridan adalah berani mengakui Yesus dengan kata-kata dan bersedia mati bersama-Nya dalam tindakan nyata. Ketika Yesus bertanya kepada para muid, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Putra Allah” (bdk. Mrk. 8:29). Namun, setelah Petrus menjawab, Petrus tidak berani lagi bersaksi tentang Yesus ketika ditanya oleh seorang hamba perempuan Imam Besar (bdk. Mrk. 14:66-72). Melalui contoh ini, Markus ingin menyampaikan kepada kita, para pengikut Yesus sekarang ini, bahwa menjadi pengikut Yesus tidak hanya cukkup dengan berkata Yesus adalah Putra Allah, tetapi juga harus berani mengikuti Dia dalam sengsara sampai wafat-Nya di kayu salib sebagai ungkapan cinta yang utuh kepada-Nya. Melalui kisah penyangkalan Petrus, kita dapat belajar bahwa mengikuti Yesus tidak hanya berani berkata siap mati bersama Dia (seperti dijanjikan Petrus dalam Mrk. 14:31), tetapi juga harus berani bertahan dalam situasi yang penuh tantangan, bahkan dalam situasi yang berbahaya sekalipun.[12]
Pesan yang terdapat dalam kisah penyangkalan memperlihatkan kenyataan bahwa manusia dengan maksud baiknya mengikuti Yesus sampai akhir. Namun, jika manusia hanya mengandalkan kekuatan dirinya sendiri saja, tidak cukup. Yesus sendiri mengalami ketakutan dan kengerian yang luar biasa ketika Dia tahu bahwa sengsara-Nya sebentar lagi akan tiba. Dia bahkan memohon supaya hal tersebut bisa dihindari. Yesus sadar bahwa roh memang kuat, tetapi daging lemah. Yesus tahu bahwa kelemahan manusiawi, termasuk kegagalan, tidak datang secara tiba-tiba sebagai suatu kejutan, tetapi termasuk dalam rencana penyelamatan Allah (bdk. Mrk. 14:27-31).
Keputusan untuk mengikuti Yesus sampai akhir merupakan suatu langkah awal. Keputusan itu tidak cukup hanya dengan mengandalkan ketetapan hati dan budi semata karena hanya dengan modal itu orang akan mudah berbalik arah meninggalkan Yesus dalam situasi yang sulit dan penuh bahaya. Gambaran yang jelas bisa kita temukan dalam diri Petrus. Dia benar-benar memiliki kebesaran hati, kegairahan, kenekatan, dan perasaan cinta yang sangat mendalam terhadap Yesus. Namun, di dalam dirinya, juga tersembunyi kepercayaan diri yang terlalu besar. Gambaran yang dimiliki Petrus mengenai Yesus dan Kerajaan Allah masih sangat dangkal. Dalam situasi demikian, Petrus mendapat kesulitan untuk memahami arti menjadi murid Yesus. Hal ini terbukti dari sikap Petrus yang terkejut ketika Yesus berbicara tentang salib (mrk. 8:31-32). Petrus dan murid lain tidak mampu melepaskan seseorang yang kerasukan setan karena belum mampu menangkap nilai iman dan doa (Mrk. 9:14-29). Pada saat Yesus menghadapi penderitaan, Petrus ternyata mengalami kesulitan besar untuk mempertahankan janjinya kepada Yesus untuk tetap setia bersama-Nya sampai akhir.
Dengan penuh semangat, Petrus berjanji tidak akan meninggalkan Yesus seorang diri meskipun semua murid akan meningalkan Dia (Mrk. 14:29-31). Namun, tidak lama setelah menyatakan kesanggupan itu, dia justru meninggalkan Yesus, bahkan sampai hati menyangkal-Nya secara terang-terangan di depan umum lebih dari dua kali. Penyangkalan Petrus adalah bukti sekaligus peringatan bagi kita bahwa pengikut Yesus tidak boleh terlalu yakin akan kemampuan dirinya sendiri dalam menghadapi peristiwa hidup yang penuh penderitaan. Manusia harus selalu waspada dan bertekun dalam doa. Kepercayaan akan kemampuan diri sendiri tanpa ditopang oleh rahmat Allah tidak akan cukup sebagai pegangan menjadi murid Yesus.[13]
Langkah yang tepat untuk mengatasi kelemahan manusiawi ketika berhadapan dengan pencobaan dan penderitaan dinyatakan dengan sangat jelas dalam satu pesan Yesus. Yesus berkata, “Berjaga dan berdoalah.” Berulang kali Yesus mengajak murid-murid-Nya untuk berjaga dan berdoa supaya tidak jatuh ke dalam pencobaan dan tidak ditaklukkan oleh kelemahan manusiawi. Yesus membuktikan kata-kata-Nya dengan memebri contoh dari diri-Nya sendiri. Ketika Dia mengalami ketakutan dan kengerian luar biasa karena dihadapkan pada penderitaan, Dia berdoa kepada Bapa-Nya untuk meminta kekuatan supaya kehendak Bapalah yang terjadi, bukan kehendak-Nya.[14]
Berjaga dan berdoa memiliki arti yang sama dengan bersatu dengan Bapa untuk menyerahkan seluruh keterbatasan manusiawi ke dalam tangan-Nya. Hal tersebut juga dapat diartikan sebagai membiarkan diri dituntun oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Berjaga dan berdoa adalah senjata utama untuk tetap bertekun sampai akhir.[15]
Penyangkalan bukanlah kata terakhir untuk para murid dalam Injil Markus. Undangan Yesus kepada Petrus dan rekan-rekannya memungkinkan panggilan pertama yang gagal untuk dipulihkan kembali. Kegagalan para murid tidak membatalkan panggilan Yesus. Nubuat Yesus tentang para murid yang akan tercerai-berai dan penyangkalan Petrus merupakan peringatan akan kelemahan para murid dalam mengikuti Yesus. Namun, Yesus sudah menubuatkan pengumpulan kembali murid-murid-Nya di Galilea untuk memulihkan kegagalan itu. Panggilan awal yang gagal akan dipulihkan oleh Yesus sendiri sebab Dia yang telah memulai panggilan itu. Dia pula yang akan menyempurnakannya.
Proses Petrus menjadi murid yang dimulai dari panggilan pertama di Danau Galilea yang masih sangat dangkal sampai pada panggilan untuk berkumpul kembali setelah kebangkitan Yesus di Galilea melalui berbagai tantangan dan krisis adalah suatu contoh proses pertobatan setiap orang Kristen. Dalam perjalanan hidup orang beriman, waktu-waktu krisis hidup beriman, baik yang mendadak amupun yang berangsur-angsur, pasti akan muncul. Iman kita bisa jadi akan diliputi kabut yang meredupkan kejernihan pandangan terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh Yesus dalam Injil sehingga arti dan daya tariknya mulai meredup dalam hati kita. Kehadiran Kristus dalam hidup maupun doa terasa semakin menyusut. Kita mengalami masa yang kering, saat yang sepi, dan waktu yang gelap yang membawa kita semakin jauh dari wajah Allah. Krisis hidup beriman menghadapkan kita pada pilihan, apakah aku mau berputus asa dan tinggal dalam situasi ketidakpastian ataukah sekali lagi memilih mengikuti Yesus dengan bertumpu pada kekuatan Sabda Allah, bukannya dengan mengandalkan kekuatan atau kelebihan-kelebihan lain kita sendiri.[16]
Pada dasarnya, krisis-krisis hidup beriman merupakan kesempatan untuk menemukan kembali nilai-nilai agung yang telah menarik kita pada keputusan untuk mengikuti Yesus. Keputusan mengikuti Yesus harus kita wujudkan malalui doa, pelayanan kepada sesama, terus bekerja, dan harapan meskipun suasana hati terasa kering dan serba membosankan. Kesetiaan iman kepada Yesus pertama kali tidak dalam merasa menjadi murid Yesus atau melipatgandakan perbuatan-perbuatan amal kasih, tetapi membiarkan diri kita dibimbing dan dituntun sendiri oleh Allah. Dalam iman, betapapun besarnya tragedi, bisa membuka cakrawala baru untuk pembangunan hidup karena di dalam Allah terdapat kerahiman dan kasih setia yang melimpah. Apakah orang mampu memanfaatkan tawaran anugerah yang melimpah ini bagi pengalaman hidupnya? Orang boleh menangis bersama Petrus karena kesedihan, tetapi dia juga boleh bangkit kembali untuk hidup bersama Yesus meskipun dia berada dalam kelemahan.
[1] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau Menyangkal Aku (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 9-10.
[2] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 10-11.
[3] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 13.
[4] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 15.
[5] Stefan Leks, Tafsir Injil Markus (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 468.
[6] Stefan Leks, Tafsir Injil..., hlm. 466-269.
[7] Luis M. Bermejo, Selubung Kirmizi (Yogyakarta: Kanisius, 2008),hlm. 161.
[8] Luis M. Bermejo, Selubung...,hlm. 163.
[9] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 85-86.
[10] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 96-97.
[11] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 100-102
[12] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 104-105.
[13] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 106-107.
[14] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 108.
[15] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 109.
[16] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 112-113.
Dalam Mrk. 14:30, terdapat tiga petunjuk waktu: “hari ini”, “malam ini”, dan “sebelum ayam berkokok dua kali”. Petunjuk waktu “hari ini” menunjukkan bahwa penyangkalan Petrus akan terjadi pada hari yang sama ketika Yesus menyatakan nubuat-Nya. Makna “hari ini” dalam Mrk. 14:30 dijelaskan oleh petunjuk waktu yang mengikutinya. Petunjuk waktu berikutnya adalah “malam hari”. Kata “malam” pada kutipan Injil mengacu pada malam yang sangat penting dalam Injil Markus, yaitu waktu yang dimulai dari menjelang malam (Mrk. 14:17) sampai menjelang pagi (Mrk. 15:1). Dalam rentang waktu dua garis pembatas itu, peristiwa yang terjadi adalah percakapan Yesus dengan murid-murid-Nya dalam perjalanan ke Bukit Zaitun (Mrk. 14:27-31); Yesus berdoa di Taman Getsemani (Mrk. 14:32-41); kisah penangkapan Yesus (Mrk. 14:43-52); dan pengadilan terhadap Yesus dan penyangkalan Petrus (Mrk.14:53-72). Petunjuk berikutnya ialah “sebelum ayam berkokok dua kali”. Dalam tradisi Yahudi, ada tiga macam kokok ayam yang menandai tiga bagian waktu dalam jaga malam. Yang pertama, terjadi kurang lebih setengah jam sesudah tengah malam. Yang kedua kurang lebih sejam kemudian. Yang ketiga kurang lebih satu jam kemudian. Kokok ayam sebagai tanda berakhirnya malam dan permulaan pagi. Dapat dikatakan bahwa ayam-ayam jago di Yerusalem berkokok secara cukup tertib dengan durasi kurang lebih 3-5 menit lalu diam lagi.[5]
Dalam Mrk. 14:30, terdapat “dua kali” (seekor ayam berkokok) dan “tiga kali” (engkau akan menyangkal Aku). Kedua peristiwa itu menunjukkan bahwa tidak ada jarak waktu yang terlalu lama antara sebelum mendengar kokok ayam yang kedua dan Petrus yang melakukan penyangkalan tiga kali. Secara singkat, kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa ketiga petunjuk waktu (“hari ini”, “malam ini”, dan “sebelum ayam berkokok dua kali”) mengatakan bahwa peristiwa yang dinubuatkan oleh Yesus akan segera terjadi.
Adegan Penyangkalan Petrus[6]
Peristiwa di Taman Getsemani berakhir dengan murid-murid yang lari tercerai berai: “Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri” (Mrk. 14:50). Mereka semua lari karena takut. Namun, tindak pengecut yang dilakukan murid-murid itu ada pengecualiannya, yaitu Petrus. Karena Markus memberikan keterangan: “Dan Petrus mengikuti Dia dari jauh sampai ke dalam halaman Imam Besar” (Mrk. 14:54). Sejalan dengan wataknya yang tidak konsisten, Petrus mengikuti Yesus karena kasih, tetapi hanya dari kejauhan karena takut.[7]
66 Pada waktu itu Petrus masih ada di bawah, di halaman. Lalu datanglah seorang hamba perempuan Imam Besar, 67 dan ketika perempuan itu melihat Petrus sedang menghangatkan badan, ia menatap mukanya dan berkata: "Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus, orang Nazaret itu." 68 Tetapi ia menyangkalnya dan berkata: "Aku tidak tahu dan tidak mengerti apa yang engkau maksudkan." Lalu ia pergi ke serambi depan (dan berkokoklah ayam). 69 Ketika hamba perempuan itu melihat Petrus lagi, berkatalah ia pula kepada orang-orang yang ada di situ: "Orang ini adalah salah seorang dari mereka." 70 Tetapi Petrus menyangkalnya lagi. Tidak lama kemudian orang-orang yang ada di situ berkata juga kepada Petrus: "Engkau pasti salah seorang dari mereka, apalagi engkau seorang Galilea! " 71 Lalu mulailah Petrus mengutuk dan bersumpah: "Aku tidak kenal orang yang kamu sebut-sebut ini!" 72 Seketika itu juga berkokoklah ayam untuk kedua kalinya. Petrus pun teringat, bahwa Yesus telah berkata kepadanya: "Sebelum ayam berkokok dua kali, engkau telah menyangkal Aku tiga kali." Lalu menangislah ia tersedu-sedu.
Setelah Yesus ditangkap, Petrus mengikuti Yesus dari jauh, sampai ke halaman rumah Imam Besar, dan di sana ia duduk di antara pengawal-pengawal sambil menghangatkan badan dekat api. Serentak pada waktu Mahkamah Agama mencari akal untuk menyatakan Yesus sebagai penjahat yang layak dihukum mati, di perkarangan rumah Imam Besar, Petrus sedang menyangkal Yesus. Boleh dikatakan bahwa pada saat yang sama, pihak yang berlain-lainan mempertanyakan identitas Yesus dan Petrus. Tetapi, Yesus mengakui identitas-Nya, sehingga dihukum mati, lalu diludahi, ditinju, dipukul, dan dipermainkan, sedangkan Petrus sebaliknya, merahasiakan identitasnya, sehingga “selamat” dari bahaya maut, namun masuk perangkap Iblis.
Menurut berita yang dicatat dalam Injil Yohanes, hamba wanita yang mengenal Petrus itu bekerja sebagai “penjaga pintu”. Ia pasti tidak mengambil bagian dalam peristiwa penangkapan Yesus. Tetapi, kiranya dapat dipastikan bahwa ia pernah melihat Petrus bersama Yesus. Pengamatannya tajam sekali, demikian pun kata-katanya, “Engkau juga selalu bersama dengan Yesus, orang Nazaret itu”. Ia jelas-jelas memojokkan Petrus. Maksudnya bukan hanya memberitahukan bahwa ia pernah melihat Petrus bersama Yesus, melainkan bahwa Petrus memang murid Yesus, sebab selalu berelasi dengan-Nya, mengikuti-Nya. Sayang sekali, Petrus menyangkal. Ia mengucapkan sebuah rumus penyangkalan yang memang dibenarkan oleh hukum para rabi Yahudi, yaitu “Aku tidak tahu apa yang Anda katakan!” Namun, dengan menolak adanya relasi antara dirinya dengan Yesus, Petrus menyangkal-Nya pula. Padahal, sebelumnya Petrus berani berkata, “Biarpun mereka semua terguncang imannya, aku tidak!”
Dia begitu yakin bahwa imannya kukuh. Dia begitu mengandalkan dirinya sebagai manusia yang taat kepada Yesus dan setia kepada-Nya. Tetapi, ia tampaknya lupa bahwa saat manusia merasa sangat tidak aman, ia biasanya takut sekali. Lalu terjadilah hal yang selalu sama, yaitu daripada mengandalkan Tuhan, manusia mencari manusia lain yang kiranya masih dapat diandalkannya. Petrus rupanya tidak menemukan seorang pun yang dapat dipercaya, sehingga ia meninggalkan tempatnya dan pergi ke serambi muka. Ia pasti mendengar kokok ayam. Tetapi, pada saat itu ia barangkali belum insaf juga. Sebab kokok ayam dini hari tidak terlalu diperhatikan seorang pun!
Petrus menghindari orang-orang yang tadi sempat mendengar pernyataan hamba perempuan itu. Lebih-lebih dihindarinya perempuan yang tajam pengamatannya itu! Tetapi, ternyata ia tidak bisa luput dari serangan selanjutnya. Diam-diam perempuan itu mengikuti Petrus, memperhatikan tingkah-lakunya, lalu mengubah taktik. Ia tidak menegur Petrus lagi, tetapi langsung berbicara kepada orang-orang di sekitarnya, “Orang ini adalah salah seorang dari mereka!” Perempuan itu tidak perlu memberi penjelasan lebih lanjut. Sebab semua orang di halaman rumah Imam Besar langsung tahu, siapa yang dimaksudkan dengan “mereka” itu. Biarpun Yesus tidak terlalu lama berkarya di bumi Palestina, Ia berhasil mengumpulkan sejumlah orang yang mengikuti-Nya dengan setia. Namun, kali ini pula, mungkin dengan kata yang sama seperti tadi, Petrus tidak rela mengakui keterlibatannya dalam “gerakan Yesus”.
Orang-orang Galilea memang berdialek khas. Bahasa Yahudi menggunakan banyak bunyi letupan yang tampaknya agak sulit diucapkan oleh penduduk utara Palestina. Maka, begitu mulai bersuara, begitu pula diketahuilah bahwa Petrus berasal dari Galilea. Celakanya lagi, Galilea dan para penduduknya selalu dilecehkan di Yerusalem, lebih-lebih setelah “si pemberontak dari Galilea” sudah ditangkap.
Kali ini Petrus menyangkal dengan penuh emosi. Sebab ia harus menanggapi tuduhan dari sekelompok orang di sekelilingnya. “(Aku bersumpah bahwa aku mengatakan kebenaran) Aku tidak kenal orang yang kamu sebut-sebut itu!” katanya. Dan ucapan itu diperkuatnya dengan kutukan dan sumpah. Ia tidak mengutuk orang lain melainkan dirinya sendiri sebagai bukti bahwa ia tidak bohong. Dalam ucapan Petrus itu, ada kelugasan yang terang-terangan. Petrus menjawab dengan emosi dengan menyatakan bahwa ia mengatakan kebenaran, dan bersamaan dengan itu ia berbohong. Ia memanggil Allah sendiri sebagai saksi atas kebenaran kata-katanya. Jika Allah menanggapi kata-katanya, Petrus akan terpuruk ke dalam titik dasar yang begitu dalam. Ia berdiri sebagai pengkhianat yang memalukan.[8]
Yang mengherankan ialah bahwa Petrus begitu ketakutan, sehingga ia malah tidak berani menyebut nama Yesus. Jadi, kali ini ia benar-benar malu sebagai pengikut Yesus. Mungkin tidak lama kemudian Petrus teringat akan kata-kata yang pernah diucapkan oleh Yesus, “Siapa malu karena Aku ..., Anak Manusia pun akan malu karena orang itu” (Mrk. 8:38). Petrus menyangkal Yesus secara meriah sekali, sambil bersumpah! Sementara Petrus mengutuk dirinya dan bersumpah, terdengarlah kokok ayam untuk kedua kalinya.
Petrus ingat akan kata-kata Yesus sebelumnya. Lalu ia tidak dapat menguasai dirinya lagi karena penyesalan. Dia, pria yang gagah perkasa dan pemberani, menangis seperti anak kecil! Ia seolah-olah bangun dari mimpi buruknya yang mulai di Taman Getsemani. Maka, ia lari meninggalkan semua orang yang menjadi saksi dosanya, lalu menangis tersedu-sedu.
Kata orang bijak, tangis wanita terjadi kapan saja, sehingga tidak perlu disimpan di dalam hati, tetapi tangis pria dewasa selalu harus diartikan secara serius. Pria yang merasa berdosa, dan karena itu menangis, adalah manusia yang sungguh-sungguh menyesal.
Kisah sengsara dalam Injil Markus termuat secara utuh dalam Mrk. 14:1-15:47. Jika dibandingkan antara kisah sengsara dalam Injil Markus dengan kisah sengsara dalam Injil Matius, Lukas, dan Yohanes, kisah sengsara dalam Injil Markus tampak lebih kelam, suram, dan penuh tragedi dengan jelas. Dalam kisah sengsara, tampak bahwa Markus menunjukkan kontras antara Yesus dan para murid (secara khusus Petrus) dengan sangat detail. Dalam situasi yang sama, mereka ditampilkan dengan sikap yang sangat berbeda.[9]
Dalam rangkaian peristiwa Kisah Sengsara sampai pemakaman Yesus (Mrk. 15:1-16:8), ketidakhadiran para murid secara jelas ditampilkan. Ketika Yesus dijatuhi hukuman mati, disalibkan sampai dimakamkan, tak satu pun hal yang dikatakan tentang para murid karena tak seorang pun dari mereka yang hadir. Sebaliknya, orang lainlah yang mengambil peran yang seharusnya mereka lakukan. Orang lain tersebut adalah Simon dari Kirene yang membantu memanggul salib Yesus (Mrk. 15:21); kepala pasukan yang mengakui identitas Yesus (Mrk. 15:39); para wanita yang menyertai Yesus sampai wafat (Mrk. 15:40-41); Yusuf Arimatea yang memakamkan jenazah Yesus (Mrk. 15:42-46); dan para wanita yang pergi ke makam (Mrk.16:1-6).[10]
Kegagalan adalah pengalaman manusiawi yang lumrah. Semua orang dalam kadar dan bentuk yang berbeda-beda pasti pernah mengalaminya. Pada umumnya, pengalaman kegagalan tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Pengalaman kegagalan ini bisa dengan mudah membuat orang kecewa, malu, atau bahkan putus asa. Dengan kata lain, pengalaman ini dengan mudah dapat melumpuhkan bahkan mematikan. Namun, apabila pengalaman yang sama diterima dengan tulus dan dimaknai dengan benar, ternyata mempunyai daya pembebasan. Pengalaman para murid, secara khusus Petrus, dalam Injil Markus dengan sangat jelas memperlihatkan suatu kegagalan dalam usaha mengikuti Yesus sampai akhir. Meskipun para murid telah berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti Yesus, mereka juga mengalami keterbatasan manusiawi sehingga jatuh ke dalam pencobaan yang sangat berat dan menyakitkan (bdk. Mrk. 14:50 dan Mrk. 14:66-72). Namun, Yesus tidak membiarkan para murid sendirian dalam keputusasaan. Yesus tetap memanggil mereka untuk bangkit kembali menjadi murid yang sejati. Kegagalan tidak membatalkan panggilan Yesus kepada para murid-Nya. Para murid dipanggil kembali untuk terus mengikuti Yesus. Oleh karena itu, kita, murid-murid Yesus sekarang, bisa mendapat pelajaran yang sangat berharga dari pengalaman kegagalan Petrus dan teman-temannya dalam mengikuti Yesus. Ketidakpahaman dan kesombongan mereka bisa menjadi peringatan bagi kita untuk tidak jatuh ke dalam kesalahan yang sama. Kegagalan tidak akan membuat kita putus asa. Sebaliknya, keberhasilan tidak boleh membuat kita sombong. Kegagalan demi kegagalan bisa saja menimpa murid Kristus, tetapi kita setiap kali harus mampu memulai atau bangkit lagi.[11]
Petrus ternyata gagal mengakui Yesus dan mempertahankan relasinya dengan Yesus. Petrus menyangkal bahwa dia mengenal dan menjadi salah satu dari murid Yesus. Karena sadar bahwa dirinya terancam, Petrus tidak berani mengikuti Yesus sampai ke salib. Petrus berbeda dari Yesus yang tanpa gentar sedikitpun menyatakaan identitas Diri-Nya di hadapan pengadilan Mahkamah Agama meskipun Dia tahu konsekuansi dari tindakan-Nya adalah hukuman mati. Menjadi murid Yesus berarti tidak hanya sekadar mengakui Yesus, tetapi juga harus berani mengikuti Dia sampai akhir. Penyangkalan Petrus adalah suatu contoh sikap yang hanya berani mengakui Yesus dengan kata-kata tanpa tindakan nyata. Pada kenyataannya, Petrus tidak berani menyerti Dia sampai akhir.
Arti kemuridan adalah berani mengakui Yesus dengan kata-kata dan bersedia mati bersama-Nya dalam tindakan nyata. Ketika Yesus bertanya kepada para muid, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Putra Allah” (bdk. Mrk. 8:29). Namun, setelah Petrus menjawab, Petrus tidak berani lagi bersaksi tentang Yesus ketika ditanya oleh seorang hamba perempuan Imam Besar (bdk. Mrk. 14:66-72). Melalui contoh ini, Markus ingin menyampaikan kepada kita, para pengikut Yesus sekarang ini, bahwa menjadi pengikut Yesus tidak hanya cukkup dengan berkata Yesus adalah Putra Allah, tetapi juga harus berani mengikuti Dia dalam sengsara sampai wafat-Nya di kayu salib sebagai ungkapan cinta yang utuh kepada-Nya. Melalui kisah penyangkalan Petrus, kita dapat belajar bahwa mengikuti Yesus tidak hanya berani berkata siap mati bersama Dia (seperti dijanjikan Petrus dalam Mrk. 14:31), tetapi juga harus berani bertahan dalam situasi yang penuh tantangan, bahkan dalam situasi yang berbahaya sekalipun.[12]
Pesan yang terdapat dalam kisah penyangkalan memperlihatkan kenyataan bahwa manusia dengan maksud baiknya mengikuti Yesus sampai akhir. Namun, jika manusia hanya mengandalkan kekuatan dirinya sendiri saja, tidak cukup. Yesus sendiri mengalami ketakutan dan kengerian yang luar biasa ketika Dia tahu bahwa sengsara-Nya sebentar lagi akan tiba. Dia bahkan memohon supaya hal tersebut bisa dihindari. Yesus sadar bahwa roh memang kuat, tetapi daging lemah. Yesus tahu bahwa kelemahan manusiawi, termasuk kegagalan, tidak datang secara tiba-tiba sebagai suatu kejutan, tetapi termasuk dalam rencana penyelamatan Allah (bdk. Mrk. 14:27-31).
Keputusan untuk mengikuti Yesus sampai akhir merupakan suatu langkah awal. Keputusan itu tidak cukup hanya dengan mengandalkan ketetapan hati dan budi semata karena hanya dengan modal itu orang akan mudah berbalik arah meninggalkan Yesus dalam situasi yang sulit dan penuh bahaya. Gambaran yang jelas bisa kita temukan dalam diri Petrus. Dia benar-benar memiliki kebesaran hati, kegairahan, kenekatan, dan perasaan cinta yang sangat mendalam terhadap Yesus. Namun, di dalam dirinya, juga tersembunyi kepercayaan diri yang terlalu besar. Gambaran yang dimiliki Petrus mengenai Yesus dan Kerajaan Allah masih sangat dangkal. Dalam situasi demikian, Petrus mendapat kesulitan untuk memahami arti menjadi murid Yesus. Hal ini terbukti dari sikap Petrus yang terkejut ketika Yesus berbicara tentang salib (mrk. 8:31-32). Petrus dan murid lain tidak mampu melepaskan seseorang yang kerasukan setan karena belum mampu menangkap nilai iman dan doa (Mrk. 9:14-29). Pada saat Yesus menghadapi penderitaan, Petrus ternyata mengalami kesulitan besar untuk mempertahankan janjinya kepada Yesus untuk tetap setia bersama-Nya sampai akhir.
Dengan penuh semangat, Petrus berjanji tidak akan meninggalkan Yesus seorang diri meskipun semua murid akan meningalkan Dia (Mrk. 14:29-31). Namun, tidak lama setelah menyatakan kesanggupan itu, dia justru meninggalkan Yesus, bahkan sampai hati menyangkal-Nya secara terang-terangan di depan umum lebih dari dua kali. Penyangkalan Petrus adalah bukti sekaligus peringatan bagi kita bahwa pengikut Yesus tidak boleh terlalu yakin akan kemampuan dirinya sendiri dalam menghadapi peristiwa hidup yang penuh penderitaan. Manusia harus selalu waspada dan bertekun dalam doa. Kepercayaan akan kemampuan diri sendiri tanpa ditopang oleh rahmat Allah tidak akan cukup sebagai pegangan menjadi murid Yesus.[13]
Langkah yang tepat untuk mengatasi kelemahan manusiawi ketika berhadapan dengan pencobaan dan penderitaan dinyatakan dengan sangat jelas dalam satu pesan Yesus. Yesus berkata, “Berjaga dan berdoalah.” Berulang kali Yesus mengajak murid-murid-Nya untuk berjaga dan berdoa supaya tidak jatuh ke dalam pencobaan dan tidak ditaklukkan oleh kelemahan manusiawi. Yesus membuktikan kata-kata-Nya dengan memebri contoh dari diri-Nya sendiri. Ketika Dia mengalami ketakutan dan kengerian luar biasa karena dihadapkan pada penderitaan, Dia berdoa kepada Bapa-Nya untuk meminta kekuatan supaya kehendak Bapalah yang terjadi, bukan kehendak-Nya.[14]
Berjaga dan berdoa memiliki arti yang sama dengan bersatu dengan Bapa untuk menyerahkan seluruh keterbatasan manusiawi ke dalam tangan-Nya. Hal tersebut juga dapat diartikan sebagai membiarkan diri dituntun oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Berjaga dan berdoa adalah senjata utama untuk tetap bertekun sampai akhir.[15]
Penyangkalan bukanlah kata terakhir untuk para murid dalam Injil Markus. Undangan Yesus kepada Petrus dan rekan-rekannya memungkinkan panggilan pertama yang gagal untuk dipulihkan kembali. Kegagalan para murid tidak membatalkan panggilan Yesus. Nubuat Yesus tentang para murid yang akan tercerai-berai dan penyangkalan Petrus merupakan peringatan akan kelemahan para murid dalam mengikuti Yesus. Namun, Yesus sudah menubuatkan pengumpulan kembali murid-murid-Nya di Galilea untuk memulihkan kegagalan itu. Panggilan awal yang gagal akan dipulihkan oleh Yesus sendiri sebab Dia yang telah memulai panggilan itu. Dia pula yang akan menyempurnakannya.
Proses Petrus menjadi murid yang dimulai dari panggilan pertama di Danau Galilea yang masih sangat dangkal sampai pada panggilan untuk berkumpul kembali setelah kebangkitan Yesus di Galilea melalui berbagai tantangan dan krisis adalah suatu contoh proses pertobatan setiap orang Kristen. Dalam perjalanan hidup orang beriman, waktu-waktu krisis hidup beriman, baik yang mendadak amupun yang berangsur-angsur, pasti akan muncul. Iman kita bisa jadi akan diliputi kabut yang meredupkan kejernihan pandangan terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh Yesus dalam Injil sehingga arti dan daya tariknya mulai meredup dalam hati kita. Kehadiran Kristus dalam hidup maupun doa terasa semakin menyusut. Kita mengalami masa yang kering, saat yang sepi, dan waktu yang gelap yang membawa kita semakin jauh dari wajah Allah. Krisis hidup beriman menghadapkan kita pada pilihan, apakah aku mau berputus asa dan tinggal dalam situasi ketidakpastian ataukah sekali lagi memilih mengikuti Yesus dengan bertumpu pada kekuatan Sabda Allah, bukannya dengan mengandalkan kekuatan atau kelebihan-kelebihan lain kita sendiri.[16]
Pada dasarnya, krisis-krisis hidup beriman merupakan kesempatan untuk menemukan kembali nilai-nilai agung yang telah menarik kita pada keputusan untuk mengikuti Yesus. Keputusan mengikuti Yesus harus kita wujudkan malalui doa, pelayanan kepada sesama, terus bekerja, dan harapan meskipun suasana hati terasa kering dan serba membosankan. Kesetiaan iman kepada Yesus pertama kali tidak dalam merasa menjadi murid Yesus atau melipatgandakan perbuatan-perbuatan amal kasih, tetapi membiarkan diri kita dibimbing dan dituntun sendiri oleh Allah. Dalam iman, betapapun besarnya tragedi, bisa membuka cakrawala baru untuk pembangunan hidup karena di dalam Allah terdapat kerahiman dan kasih setia yang melimpah. Apakah orang mampu memanfaatkan tawaran anugerah yang melimpah ini bagi pengalaman hidupnya? Orang boleh menangis bersama Petrus karena kesedihan, tetapi dia juga boleh bangkit kembali untuk hidup bersama Yesus meskipun dia berada dalam kelemahan.
Catatan Kaki:
[2] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 10-11.
[3] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 13.
[4] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 15.
[5] Stefan Leks, Tafsir Injil Markus (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 468.
[6] Stefan Leks, Tafsir Injil..., hlm. 466-269.
[7] Luis M. Bermejo, Selubung Kirmizi (Yogyakarta: Kanisius, 2008),hlm. 161.
[8] Luis M. Bermejo, Selubung...,hlm. 163.
[9] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 85-86.
[10] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 96-97.
[11] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 100-102
[12] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 104-105.
[13] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 106-107.
[14] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 108.
[15] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 109.
[16] Aidan P. Sidik, Simon Mengapa Engkau..., hlm. 112-113.
Comments
Post a Comment