Saya memakai pakaian alba di masa SMA. |
Masa akhir SMA memang menjadi masa di mana kita akan membuat sebuah keputusan yang besar untuk hidup kita bertahun-tahun berikutnya. Di akhir SMA kita diberi pilihan untuk melanjutkan pendidikan tinggi yang kira-kira akan menjadi gambaran profesi kita kelak. Saya menjalani pendidikan SMA di sebuah seminari menengah. Sekolah seminari yang tentu tidak asing bagi kita, karena namanya yang mashyur sebagai seminari menengah tertua di tanah Kalimantan. Sebetulnya saya pun tidak menyangka, bahwa setelah menamatkan seminari menengah, melanjutkan studi di seminari tinggi Kapusin adalah pilihan saya diantara sekian banyak tawaran setelah menamatkan SMA.
Awalnya hanyalah olok-olok. Ketika akan diadakan pengukuhan Uskup Agung Pontianak yang baru, para siswa seminari diijinkan untuk menghadiri acara tersebut. Namun dengan beberapa syarat: Pertama, berangkat dengan biaya sendiri. Kedua, yang boleh berangkat ialah mereka yang akan melanjutkan ke seminari tinggi, dibuktikan dengan menunjukkan surat lamaran ke seminari tinggi. Karena saya dan beberapa teman adalah anggota Bengkel Sastra, sebuah kelompok ekskul di bidang sastra, kami ingin sekali menulis untuk acara ini, ditambah juga rasa penasaran dan ingin jalan-jalan, saya dengan beberapa seminaris lain akhirnya menulis surat lamaran itu demi bisa berangkat ke Pontianak, menghadiri acara instalasi Uskup Agung yang baru.
Rupanya, surat lamaran yang itu bukanlah surat definitif yang akan diserahkan kepada para bapa uskup atau pembesar konggregasi. Menjelang ujian, kami diminta ulang untuk sekali lagi menulis surat lamaran. Beberapa yang sebelumnya menulis kali ini tidak membuatnya. Entah atas dorongan apa, saya pun ikut menulis lamaran ke seminari tinggi, saya melamar ke Ordo Kapusin. Awalnya saya menulisnya karena bingung memilih jurusan kuliah, juga atas dorongan banyak teman seminaris yang mempromosikan kami mewakili angkatan untuk lanjut ke seminari tinggi. Selain itu, memang ada rasa ketertarikan saya dengan cara hidup para religius.
Sebetulnya kalau ditilik secara lebih dalam, panggilan saya untuk menjadi imam rupanya sudah dimulai sejak sangat muda. Dengan latar belakang ayah dan ibu saya yang adalah katekis, sudah tentu sejak kecil saya sudah terbiasa dengan beragam hal yang berkaitan dengan iman Katolik. Sebagian besar diajarkan melalui cerita sehari-hari ataupun dongeng oleh ibu saya dan yang lain saya dapatkan sendiri melalui banyak buku dan bacaan rohani milik ayah saya. Tidak terlalu mengherankan saya punya pengetahuan yang lebih dibidang agama dan selalu mendapat nilai tinggi dalam pelajaran agama di sekolah dibanding anak-anak lainnya. Pada masa itu ayah saya menjabat kepala sekolah sebuah SMP milik Yayasan yang dikelola oleh paroki, maka tidak jarang rumah kami kedatangan pastor-pastor dari paroki. Pastor yang datang yang paling berkesan bagi saya ialah Pastor Jakob Willi. Kharisma beliau sangat mempesona saya. Beliau benar-benar orang baik. Apalagi perawakan beliau yang aslinya adalah orang Eropa (Swiss) begitu tampak aneh dan menarik bagi seorang anak kampung seperti saya. Pastor-pastor yang lain juga tidak berbeda, mereka semua orang baik. Maka kalau ditanya oleh orang, apa cinta-cita saya, maka saya dengan ringan menjawab mau menjadi pastor.
Ayah dan ibu saya mengambil peranan yang cukup besar dalam hal mengenalkan iman Katolik dan dasar pelayanan pastoral. Ayah saya cukup sering tidak berada di rumah untuk waktu yang lama karena ikut tourne (kunjungan kerasulan di stasi) atau semacamnya. Dalam hari tertentu, misalnya hari peringatan arwah semua orang beriman (2 November) saya biasanya dititipkan ke orang tua angkat mereka (nenek dan kakek angkat saya) yang ada di Sangku atau dititipkan ke rumah nenek dari pihak Ibu di Jelimpo. Sementara, mereka dengan kelompok tournenya masing masing pergi ke berbagai kampung.
Saat saya kecil saya masih belum begitu mengerti tentang apa itu imamat atau pun hidup membiara. Saya sering diceritakan oleh nenek tentang Om Jhon yang sedang sekolah di Sumatera, tentang Oma (Paman) Yanto yang sedang sekolah di Roma, atau tentang nenek suster yang tinggal di Jawa. Mereka hanya sering saya dengar dalam cerita. Kalau bertemu langsung dengan mereka rasanya cukup jarang. Tapi, saat mereka datang liburan, terasa sekali ada yang istimewa dalam diri mereka, begitu pula sambutan keluarga atas kedatangan mereka. Mereka juga kalau pulang kerap membawa teman-temannya, pastor atau frater.
Saya menjalani SMP di Pusat Damai. Sebuah paroki yang juga dilayani Kapusin. Di sana saya tinggal di asrama. Peraturan di asrama sedikit ketat. Awalnya saya ikut-ikut saja dengan aturan yang ada. Lama-kelamaan bosan juga. Saat waktunya misa, seringkali saya dan gank berjalan ke arah gereja, tapi akhirnya menyimpang ke pasar, ke warnet, atau sekedar nongkrong di depan toilet yang terletak di belakang gereja. Setelah anak-anak asrama putri lewat, artinya misa sudah selesai, kami pun kembali ke unit asrama seolah-olah baru ikut misa. Waktu SMP saya cukup dikenal sebagai anak yang nakal.
Suatu hari waktu SMP, kelas kami ditanya oleh seorang guru tentang cita-cita kami di masa depan. Ketika tiba giliran saya dengan iseng saya menjawab mau menjadi Uskup. Sontak jawaban saya ini menjadi bahan tertawaan sekelas. Tidak saya sangka ibu guru yang menanyakan hal ini masih mengingat jawaban saya itu sampai kelulusan. Bahkan saat tahun Postulat, ketika menjalani dua pekan hidup berkomunitas di Paroki Pusat Damai, beliau masih ingat dengan jawaban saya itu. Padahal saya menjawabnya dengan bercanda dan mengada-ada. Boleh dibilang, menjadi imam adalah jauh dari cita-cita saya semasa SMP. Ketika Om Jhon ditahbiskan menjadi imam di Pusat Damai pada saat itu, pun bukanlah sesuatu yang berkesan bagi saya.
Akhirnya saya bersekolah di Nyarumkop. Saya kagum bagaimana cara Tuhan ‘menjebak’ saya untuk ahirnya melamar ke seminari tinggi. Sebenarnya waktu SMP pun saya mau bersekolah di Nyarumkop, tetapi akhirnya lalu di Pusat Damai karena pertimbangan orang tua saja bahwa letak Nyarumkop terlalu jauh. Saat naik ke kelas dua, saya dan saudara sepupu saya Yerri, nyaris pindah ke Nyarumkop. Setamat SMP, saya diberi beberapa pilihan sekolah. Saya pun nyaris didaftarkan ke SMA Don Bosco di Sanggau atau di sebuah SMA di Malang, di mana ada seorang suster yang masih kerabat saya berkarya. Karena rasa penasaran waktu SMP tidak di Nyarumkop, akhirnya saya SMA di Nyarumkop. Waktu itu belum tahu tentang apa itu seminari, murni karena ingin di Nyarumkop saja. Bisa dibayangkan, kalau seandainya dulu saya SMP di Nyarumkop, jelas saya tidak akan mau SMA di seminari yang siswa sekelasnya pria semua. Dan kalau seandainya dulu saya SMA di tempat lain, entah-entah bibit panggilan saya akan tumbuh lagi.
Kisah ini agak mistis kedengarannya. Saya lahir di hari Minggu, 27 Juli 1997, hari Tuhan kata orang. Kelahiran saya di rumah nenek di Jelimpo sekitar pukul 10 pagi dibantu seorang “dukun beranak”/bidan kampung. Tepat di saat orang-orang sedang beribadat, ketika keluarga yang lain pulang dari gereja, tiba-tiba saja bayi ini sudah keluar. Katanya, waktu baru lahir, tepat di atas hidung di antara kedua mata, ada setitik hijau yang aneh, diadakan upacara adat dengan dipatok ayam supaya titik itu hilang. Ketika teman ayah mendengar anak ini lahir di tanggal tersebut, tanggal bulan tahunnya berakhiran tujuh, ia berkomentar, anak Jubata!
Waktu seorang adik ayah saya mendengar bahwa saya mau disekolahkan di Nyarumkop dia pun berkomentar. Katanya, “Kamu ini disuruh sekolah di Nyarumkp oleh mama papa supaya kau jadi pastor”. Dia bercerita lagi. Menunggu kelahiran adik saya itu sangat sulit. Katanya, entah cerita ini benar atau tidak, orang tua saya berdoa dan bernazar kalau mereka dapat anak lagi, anak pertamanya ini biarlah dipersembahkan untuk Tuhan.
Voila. Sekolah di seminari mengajarkan saya lebih banyak hal yang mendukung untuk menjadi imam. Di seminari saya lebih bisa bergaul dengan beragam teman dari berbagai daerah. Lebih akrab dengan pastor dan frater. Apalagi saya sempat menjabat sebagai sekretaris dalam kepengurusan asrama seminari. Bahkan saya cukup akrab dengan abang-abang Topang (kelas Rhetorica di Seminari) yang adalah calon frater itu. Kebetulan salah satu dari mereka ialah sepupu jauh saya.
Sebetulnya sewaktu bersekolah di seminari pun minat saya untuk menjadi imam tidak begitu besar. Di penghujung kelas Poesis atau kelas tiga SMA. Barulah panggilan itu tumbuh kembali. Waktu itu diadakan ekspo perguruan tinggi di Singkawang. Niat awal mau mencari informasi kuliah seputar pendaftaran beragam jurusan di universitas, saya hanya sekedar menggoda kakak-kakak yang menunggu stan perguruan tinggi tertentu dan tidak kunjung mendaftar. Akhirnya ekspo hari kedua saya bersama beberapa teman malah mengadakan ekspo sendiri. Kami membagikan brosur Kapusin kepada para siswa yang datang ke ekspo. Dalam ekspo ini saya ada ikut mendaftar di salah satu Universitas. Coba-coba saja siapa tahu dapat beasiswa. Beberapa minggu kemudian ada surat dari universitas, lulus. Tapi, karena tidak dapat beasiswa penuh saya abaikan surat itu.
Saat orang tua saya turut bertanya akan lanjut kuliah dimana, saya sebutkan jurusan-jurusan yang saya minati, yakni di bidang desain grafis dan ilmu komunikasi. Tetapi mereka malah terheran dengan jurusan yang saya tawarkan dan malah mengusulkan jurusan lain yang lebih populer. Saat itu saya belum bilang kalau saya sudah mengirim lamaran ke Kapusin. Saya bilang saja tenang saja, pendaftaran universitas itu masih lama.
Tiba hari kelulusan, kami ada berlima yang menulis lamaran dipanggil oleh Rektor seminari. Katanya kami semua diterima di tarekat dan keuskupan masing-masing. Segalanya nanti beliau yang urus yang penting pada tanggal yang ditentukan nanti kami silahkan datang ke Postulat.
Segera saya menyelesaikan segala yang belum selesai tentang sekolah dan relasi dengan teman. Saya kembali ke rumah dengan tenang. Pada tanggal yang ditentukan, saya bersama ketiga seminaris yang melamar ke Kapusin, ditambah enam saudara dari Topang dan dua saudara lainnya, datang ke Postulat St. Leopold Mandic di Sanggau. Setahun kemudian saya masuk Novisiat Kapusin St. Padre Pio di Gunung Poteng dan pada 2 Agustus 2017 mengikrarkan Kaul Perdana. Dua hari setelahnya, kami 7 orang frater dari Pontianak terbang ke Pulau Sumatera untuk melanjutkan studi filsafat demi menggapai cita-cita menjadi imam katolik dalam persaudaraan Kapusin Propinsi Pontianak.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny