Skip to main content

Cerpen: Renungan di Kala Senja



Sudah 40 menit aku hanya duduk terdiam di depan teras ini. Memandang jalan, menunggu berhentinya hujan yang sedang menetes dengan derasnya. Ributnya suara air yang terjun bebas menyentuh tanah rupanya begitu kunikmati. Bagaikan melodi di kala senja. Alam memainkan orkestra dengan merdunya.

Seorang ibu melintas. Ia mengenakan pakaian serba biru, kecuali baju putih. Selendang biru, rok panjang biru. Gaya fashion yang menurutku cukup aneh untuk orang di sekitar sini. Sebelah tangannya membawa payung, sementara tangan kirinya sibuk memeluk barang bawaannya seakan tidak ingin yang dibawanya itu basah. Tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil melaju dengan kencangnya. Yang kulihat selanjutnya adalah seorang ibu dengan pakaian yang basah kuyup sebelah. Rupanya mobil yang lewat tadi melintasi genangan air di jalan yang membuatnya memercik kepada wanita itu. Ia berhenti sejenak, menatap tepat pada tas biru tua yang ia bawa. Sejurus kemudian ia memandang ke arahku. Sekilas menyentuh mataku. Membuat aku terkejut sejenak.

Aku pergi. Bukan, bukan ragaku. Namun pikirku, melayang, kembali pada suatu masa. Di sana terlukis senyum, sangat indah. Sekian banyak orang yang sangat aku rindukan. Mereka yang pernah aku kecewakan, yang sejujurnya membuat bahagiaku kini menjadi kurang sempurna. Bunyi halilintar menggelegar. Perlahan-lahan semua sirna, sadarkan lamunku.

“Wanita tua yang malang,” desisku dalam hati.

Tidak terlalu mudah untuk melukiskan siapa aku sekarang. Yang jelas aku bukan orang biasa-biasa. Bukan, bukan berarti aku orang hebat. Sama sekali bukan. Justru aku seorang yang tidak sempurna. Tidak biasa, dalam arti negatif. Aneh, goblok.

Segala kebodohan itu bermula ketika aku baru saja menyelesaikan sekolah. Ketika itu, aku berangkat dari rumah dengan sebuah tekad yang kuat, aku mau jadi imam. Tentu saja banyak orang yang mendukung pilihan hidupku ini. Kecuali satu, mama.

Aku tahu bahwa yang kubuat ini adalah sebuah keputusan yang besar, berat, dan tidak populer. Entah kenapa, saat itu begitu besar dorongan agar aku memilihnya. Pengalamanku melihat banyaknya orang yang kurang pengetahuan akan iman yang dianutnya membuat hatiku terusik dan tergerak.

Aku memasuki gerbang biara dengan semangat. Saat itu aku merasa begitu gembira. Aku menjalani hari-hari dengan sukacita. Ada rasa senang, bangga, dan semangat menatap khayalan tentang aku dan karyaku di masa depan. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bosan. Tidak ada lagi makna yang bisa ku tangkap dari beragam kegiatan di biara. Segala sesuatunya berjalan berulang. Seolah hari ini sama saja dengan hari kemarin dan hari esok hanyalah refrain dari hari ini. Ibadat harian, Misa, studi, kerja rumah, rekreasi bersama. Tidak ada kurasa perkembangan yang berarti. Terlalu banyak waktu luang. Waktu yang terlalu banyak ini celakanya mengundang diri ini untuk berpikir, merenungkan dan mengkhayalkan banyak hal. Sampailah aku kepada sebuah pertanyaan, apa yang sudah aku lakukan? Memang banyak pengetahuan tentang iman yang aku dapat. Namun, iman itu sendiri, tidak berkembang secara semestinya.

Tentu saja aku ingat akan banyak orang yang ada di belakangku. Mereka yang mendorong dan mendukungku. Aku ingat akan kata-kata mereka, “Kalau sudah masuk jangan sampai keluar.” Atau kalimat, ”Ketika kita akan memutuskan untuk berhenti, cobalah ingat untuk apa kita memulainya.” Huh! Terlalu banyak nasihat yang perlahan malah membuat aku jenuh.

Menurut ilmu yang aku pelajari selama ini, katanya manusia itu hidup untuk menemukan kebahagiaan. Lalu, setiap manusia itu dipanggil kepada kekudusan. Panggilan dan jalan ini adalah salah satu jalan menuju kekudusan itu. Bagaimana kalau rupanya aku tidak menemukan kebahagiaan itu. Jangan-jangan sebenarnya aku ini tidak dipanggil. Jangan-jangan hanya diriku saja yang merasa dipanggil atau terpanggil. Atau sebenarnya aku ini dipanggil tetapi justru tidak dipilih.

Begitu banyak pergumulan dalam hatiku. Hingga akhirnya, aku terinspirasi akan tindakan Santo Fransiskus dari Assisi yang berlutut di depan Salib San Damiano sambil berbicara kepada Allah, “Lord, what do You want me to do?”.

Suatu malam, lewat tengah malam, setelah memastikan tidak ada saudara lain yang memperhatikan tingkahku ini, aku sendiri berada di dalam kapel memandang wajah Yesus pada lukisan Kristus yang Tersalib dari San Damiano. Di tengah segala gundah gulana itu, sayup-sayup aku mendengar suara. Seolah-olah salib itu berkata kepadaku, sebagaimana yang dikatakan Yesus kepada sang perempuan sundal, “Pergilah, Aku pun tidak akan menghukum engkau.”

Kini sekali lagi aku menambah kekecewaan mereka. Mengecewakan mama. Dulu ia mati-matian melarangku untuk memulai. Ketika ia mulai ikhlas akan pilihanku itu, aku malah memilih untuk berhenti. Sekali lagi ia kecewa karena pilihan hidup anaknya. Sama seperti ketika aku memilih untuk masuk biara adalah sebuah keputusan yang besar. Ketika memilih untuk meninggalkannya, itu pun sebuah keputusan yang besar. Lebih besar. Bedanya, kalau dulu ada sekian banyak orang mendukung pilihanku itu. Kali ini lebih banyak lagi yang benar-benar menentang. Aku terkucilkan.

Sebenarnya ada banyak sekali kenangan dan sukacita yang kudapat ketika masih hidup di biara. Hidup bersama sebagai saudara, melayani umat dengan tulus, mendengarkan cerita mereka yang sesekali begitu menyentuh perasaan, tidak jarang pula menggelitik begitu lucunya.

Memilih untuk berhenti rupanya memang membawa konsekuensi yang tidak ringan. Aku berangkat ke suatu tempat yang jauh, meninggalkan kota kelahiranku. Pergi ke suatu tempat yang menurutku aman. Definisi aman bagiku kali ini ialah tempat di mana tidak ada orang lain yang mengenalku. Memulai hidup yang sepenuhnya baru. Mengejar ketertinggalanku akan dunia.

Sebelum ‘kembali kepada dunia’ aku bertemu dengan seseorang. Namanya Eve. Seseorang yang sangat baik, cerdas, taat beragama, cantik dan yang paling penting mengerti akan pergumulanku ini. Dia satu-satunya orang yang bersedia menemaniku di saat aku bimbang. Hal itulah yang membuat aku jatuh hati padanya. Katanya, “Hidup di dunia ini memang keras dan berat. Tapi kalau kita menjalaninya dengan bahagia, pengorbanan kita itu akan mendatangkan sukacita.”

Demikianlah hingga kini ia masih bersama dengan aku ‘melawan dunia’. Sebetulnya banyak hal yang seharusnya cukup untuk membuat ia pergi. Tetapi ia tidak melakukannya. Cara hidupnya banyak membuat aku berubah menjadi lebih baik. Tetapi, ada satu hal yang belum mampu dia perbaiki.

Keluar dari biara membuat aku muak akan segala hal yang berbau agama. Belajar dan mengalami banyak pengalaman membuat aku memandang segala kegiatan itu sebagai hal formalitas dan ciptaan manusia belaka. Segala renungan dan homili yang disampaikan selebran misa sudah aku ketahui. Apalagi aku tahu tentang bobroknya kehidupan beberapa klerus dibalik pakaian liturgi itu. Tentu tidak semua imam begitu. Tapi maaf, sulit bagiku untuk menghargai dan melihat Kristus dalam diri mereka, kecuali dalam hosti yang mereka persembahkan dalam Ekaristi.

Sekurang-kurangnya sudah lima tahun aku tidak pernah ke gereja. Jangan kira Eve tidak pernah mengajakku ke sana. Sering, bahkan terlalu sering, sehingga dia mulai merasa sia-sia. Setiap Sabtu sore begini dia akan pergi ke sana meninggalkan aku sendirian di rumah.

Memandang ibu berpakaian dan selendang biru di sore ini membuat aku merenungkan banyak hal. Aku mulai rindu Tuhan dan benar-benar rindu rumah.

Hujan sudah mereda. Eve muncul dari pintu depan rumah. Mengenakan pakaian yang sama, yang selama ini dipakainya setiap akan ke gereja atau ke tempat pesta.

“Mau ke mana Eve?” kataku.

“Mau ke gereja mas, ini kan hari Sabtu” jawabnya.

“Boleh aku ikut?” Eve mengernyitkan keningnya.

“Serius? Mas serius mau ke gereja?” nada suaranya tidak percaya.

“Aku hanya mau mewujudkan mimpimu, katanya engkau ingin sesekali ke gereja didampingi pasangan” jawabku pelan sambil tersenyum.

Eve begitu gembira. Sekalipun dia tahu alasanku itu terlalu mengada-ada. Tetap saja dia bilang alasanku itu terdengar romantis.

Aku segera bersiap dan berjalan ke garasi untuk mengambil sepeda motor. Pikirku dalam hati, “Jangan-jangan ibu yang baru melintas tadi adalah Bunda Maria.”

“Eve, kapan kita akan pulang ke negeri kita?”

BiKapAlverna, 19 September 2017

Comments

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Belajar dari Kegagalan Petrus dan Para Murid

Di tepi Danau Galilea, Yesus memanggil Simon untuk mengikuti-Nya. Ia akan dijadikan penjala manusia (Mrk. 1:16-20). Simon kemudian diberi nama Kefas atau Petrus yang berarti batu wadas atau batu karang (Mrk. 3:16). Nama tersebut sebagai tanda bahwa dialah ketua para rasul dan landasan Gereja yang akan didirikan oleh Kristus (Mrk. 8:29). Petrus adalah ketua sekaligus juru bicara para murid dalam peristiwa-peristiwa penting. Dia juga orang yang pertama kali menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, yakni Kristus (Mrk. 8:29). Petrus ikut menyaksikan peristiwa transfigurasi atau pemuliaan Yesus (Mrk. 9:2-3). Namun, peristiwa penyangkalan terhadap Yesus sampai tiga kali ketika Yesus diadili merupakan pengalaman yang sangat memalukan. Pengalaman ini menumbuhkan penyesalan yang amat pahit baginya (Mrk. 14:72). Pengalaman memalukan itu diceritakan oleh Petrus kepada Markus (penginjil) bukan tanpa tujuan. Di balik penyangkalan tersebut, ada sesuatu yang ingin disampaikan Petrus kepada kita. Tidak

Katekese: Sejarah Bulan Kitab Suci Nasional

Kini kita telah memasuki bulan September. Pada bulan ini Gereja Katolik Indonesia secara khusus menaruh perhatian pada Kitab Suci. Bagi kita, bulan September adalah Bulan Kitab Suci Nasional. Di setiap keuskupan di Indonesia dilakukan berbagai kegiatan untuk mengisi bulan ini, mulai di stasi/lingkungan, wilayah, paroki, biara, maupun di kelompok-kelompok kategorial. Misalnya, lomba baca Kitab Suci, pendalaman Kitab Suci di lingkungan, pameran buku, dan sebagainya. Perayaan Ekaristi berlangsung secara meriah, diadakan perarakan khusus untuk Kitab Suci, dan Kitab Suci ditempatkan di tempat yang istimewa. Sejak kapan tradisi Bulan Kitab Suci Nasional ini berawal? Untuk apa?  Untuk mengetahui latar belakang diadakannya Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) ini kita perlu menengok kembali Konsili Vatikan II. Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II yang berbicara mengenai Kitab Suci adalah Dei Verbum (Sabda Allah). Dalam Dei Verbum para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masu

Vocation Story

Saya memakai pakaian alba di masa SMA. Masa akhir SMA memang menjadi masa di mana kita akan membuat sebuah keputusan yang besar untuk hidup kita bertahun-tahun berikutnya. Di akhir SMA kita diberi pilihan untuk melanjutkan pendidikan tinggi yang kira-kira akan menjadi gambaran profesi kita kelak. Saya menjalani pendidikan SMA di sebuah seminari menengah. Sekolah seminari yang tentu tidak asing bagi kita, karena namanya yang mashyur sebagai seminari menengah tertua di tanah Kalimantan. Sebetulnya saya pun tidak menyangka, bahwa setelah menamatkan seminari menengah, melanjutkan studi di seminari tinggi Kapusin adalah pilihan saya diantara sekian banyak tawaran setelah menamatkan SMA. Awalnya hanyalah olok-olok. Ketika akan diadakan pengukuhan Uskup Agung Pontianak yang baru, para siswa seminari diijinkan untuk menghadiri acara tersebut. Namun dengan beberapa syarat: Pertama, berangkat dengan biaya sendiri. Kedua, yang boleh berangkat ialah mereka yang akan melanjutkan ke seminari ting