Skip to main content

Pengalamanku Tinggal di SLB-C

Untuk mengisi liburan kuliah menuju semester 5 kami para frater diutus ke berbagai tempat untuk tinggal dan mengalami secara langsung hidup bersama umat. Kegiatan ini berlangsung hampir dua pekan (tepatnya 12 hari). Sebagian besar frater ditempatkan untuk tinggal di stasi-stasi di beberapa paroki. Sesuatu yang berbeda, pada tahun ini beberapa frater yang diberikan kesempatan untuk mengalami hidup di tempat lain yaitu dalam rumah karya kategorial.


Saya bersama tiga saudara yang lain kebetulan diberikan tugas untuk tinggal di sebuah SLB di dekat kota Medan. Walaupun kerap disebut di Medan, namun sebetulnya tempat ini sudah termasuk wilayah Kabupaten Deli Serdang. Tempat ini lebih sering disebut SLB-C Santa Lusia, Laut Dendang. SLB ini dikelola oleh para suster dari konggregasi KSFL. Saya pada awalnya bertanya-tanya apakah kira-kira maksud dari huruf C ini. Ternyata huruf ini menandakan jenis dari sekolah luar biasa ini. Dari informasi yang saya dapatkan, ternyata ada enam jenis sekolah luar biasa. SLB-A yaitu untuk anak-anak dengan gangguan penglihatan atau tuna netra, SLB-B untuk mereka yang mengalami kekurangan dalam indra pendengaran atau tuna rungu. Selain itu masih ada lagi SLB-C, SLB-D, SLB-E, dan SLB-G. Tempat yang kami datangi adalah sebuah SLB-C yaitu sekolah khusus untuk anak-anak tuna grahita. Tuna grahita yaitu anak-anak yang lahir dengan keadaan kemampuan intelegensi di bawah rata-rata serta tidak memiliki kemampuan adaptasi. Anak-anak ini memiliki IQ di sekitaran angka 40. Termasuk dalam kategori ini juga anak-anak yang mengalami down-syndrome dan anak-anak yang autis.

Berangkat dari Pematangsiantar menggunakan bus, kami tiba di pangkalan bus di terminal Pancing. Sebelumnya kami telah menghubungi suster dari komunitas ini untuk menjemput kami di pangkalan bus, sebab kami semua sama sekali belum tahu lokasi tempat ini sebelumnya. Setelah menunggu sekian lama datanglah mobil putih dengan tulisan “SLB-C Santa Lusia” menyemput kami. Perjalanan dari terminal Pancing sampai ke tempat tujuan ternyata tidak terlalu jauh. Jarak ini bisa ditempuh dalam waktu kira-kira lima belas menit saja. Sampai di tempat tujuan, baru saja turun dari mobil, kami langsung disambut teriakan anak-anak memanggil kami dengan semangat, “frater…, frater…”. 

Di sini saya dipanggil "Uskup Sipayung", wkwk...

Sebelum sungguh-sungguh memulai live in, kami diberikan pengarahan dan pengenalan seputar tempat ini berikut apa kira-kira kegiatan kami selama di tempat ini. Kami pula disambut oleh para suster di komunitas ini dalam jamuan makan malam bersama. Setelah itu, kami langsung bergabung bersama anak-anak. Sdr. Beni dan Sdr. Lauren ditempatkan di unit C yang dihuni sebagian besar oleh anak-anak yang masih kecil, sementara saya bersama Sdr. Krispinus ditempatkan di unit D yang dihuni oleh anak-anak yang lebih besar, katakanlah yang sudah remaja dan dewasa.

Perasaan pertama yang muncul ketika saya secara langsung berinteraksi bersama mereka adalah rasa takut dan heran. Kedatangan kami disambut dengan penuh antusias. Hal yang membuat takut ialah bahwa mereka menyambut kami terlalu antusias, berlebihan dari yang wajar. Apalagi saya mendengar bahwa situasi anak-anak ini terkadang sulit diprediksi. Misalnya, yang sedang tertawa bahagia emosinya dapat berubah secara tiba-tiba menjadi marah dan mau memukul orang yang disekitar (Ternyata ini benar, tapi sebetulnya tidak seburuk yang saya pernah bayangkan). Rasa heran muncul karena melihat gaya dan tingkah pola anak-anak ini yang tentu saja berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Kami tinggal di unit bersama anak-anak, beberapa suster, dan beberapa karyawati yang setiap hari mengurus anak-anak ini. Kegiatan kami setiap hari dimulai dengan ibadat pagi pada pukul 5 di kapel bersama para suster. Pada hari tertentu setelah ibadat pagi disambung dengan perayaan ekaristi. Pengalaman pertama saat bangun pagi, saya dibangunkan oleh suara tangis anak-anak ini. Ketika saya keluar kamar, pemandangan mengejutkan bagi saya ketika melihat anak-anak ini, yang notabene sudah usia dewasa, dengan keadaan telanjang dimandikan oleh para karyawati. Ada yang sedang mandi, ada yang meraung ribut sendiri, bahkan ada yang berbaring atau bertiarap di lantai.

Setelah sarapan dan bersiap, kami diminta untuk mendampingi anak-anak ini di sekolah. Kegiatan di sekolah ada beragam. Tidak dengan kegiatan formal seperti sekolah pada umumnya, kegiatan lebih banyak dengan aktivitas bermain. Kami berempat diminta untuk mendampingi kelas secara khusus. Sdr. Beni di kelas melukis, Sdr. Lauren mendampingi kelas menari, Sdr. Krispinus di kelas menyanyi, dan saya di kelas komputer.

Kegiatan sekolah berakhir sekitar pukul setengah satu. Setelah itu kegiatan seperti biasa, makan siang dan istirahat siang. Terkadang ada datang tamu dari luar yang menjadi donatur untuk SLB-C ini. Mereka seringkali datang membawa makanan untuk makan siang dan makan malam. Kalau situasinya seperti ini, maka istirahat siang akan menjadi diundur atau ditiadakan sebab selesai makan biasanya ada acara khusus bersama para tamu donatur.

Waktu sore hari diisi beragam kegiatan seperti olahraga dan ekstrakurikuler. Pada pukul 6 sore kami dan para suster melakukan ibadat sore dan kemudian dilanjutkan doa rosario di gua maria bersama anak-anak. Beberapa kali doa rosario ini kami ganti dengan ibadat kreatif di aula. Tidak hanya berkegiatan di komplek SLB-C, pada hari Rabu malam kami berkunjung ke lingkungan terdekat mengikuti ibadat sabda. Pada malam Minggu dan hari Minggu kami bersama sebagian anak-anak mengikuti misa di gereja stasi.

Di bandara Kualanamu, mengantar suster kepala. Setelah adegan ini, saya diminta berfoto dengan suster yang itu (yang mana? Ituu yang ituuu...). Saya sudah cari dan minta fotonya. Tapi nggak dapat, sengaja dihapus suster senior, kayaknya.


Setelah makan malam kami kembali berkumpul bercengkrama sambil menonton TV bersama anak-anak. Kegiatan malam ini ditutup dengan doa malam bersama anak-anak ini pada pukul 9. Pengalaman menarik, saya kerap merasa lucu bila sedang berdoa dan bernyanyi bersama anak-anak. Sebagian besar anak-anak ini kesulitan bicara, bicaranya kurang jelas atau bahkan hanya dapat mengeluarkan bunyi-bunyian random saja. Nah, ketika berdoa, mereka hanya mengulang doa yang sudah dihapalkan. Misalnya ketika rosario, ketika mendapat giliran berdoa Salam Maria, beberapa anak berdoa dengan tampak serius, tapi suaranya hanya jelas ketika menyebutkan “Salam Maria, penuh rahmat…” lalu kemudian suaranya mengecil dan kurang jelas, lalu tiba-tiba berbunyi keras dan dengan nada naik “..mu Yesus”. Demikian pun ketika bernyanyi kebanyakan bernyanyi dengan mendaras sehingga suara ‘koor’ kami menjadi tidak harmonis dan kami bingung manakah suara yang sesuai.

Setelah doa malam, anak-anak ini masuk ke kamar. Satu kamar diisi oleh sekitar 6-10 anak. Di setiap kamar juga diisi oleh salah satu karyawati yang juga tidur bersama anak-anak ini. Sebelum sungguh-sungguh tidur, saya kerap mengganggu anak-anak ini. Bermain dan bercerita. Terkadang mereka juga bertanya tentang cerita panggilan. Ada yang bertanya tentang cara menjadi uskup. Ada sibuk menunjukkan foto-fotonya bersama keluarga, atau foto ketika mengikuti lomba di kota-kota tertentu. Ada pula yang mengungkapkan kekaguman mereka pada sosok pastor dan bercita-cita ingin menjadi pastor.

Cerita lucu, ketika sedang asyik melukis, seorang anak berdiskusi. Mereka membandingkan para frater ini mirip dengan siapa. Mereka bilang, Fr. Lauren itu mirip presiden Jokowi, lalu Fr. Beni mirip bupati, bupati Jakarta katanya. Pernyataan yang mengejutkan, mereka bilang saya mirip uskup, Uskup Sipayung. Ungkapan bercanda ini kemudian juga terbawa sehingga anak-anak ini kerap memanggil saya “uskup”. Lalu, kami bertanya, Fr. Krispinus mirip siapa? Jawaban paling lucu: mirip tukang parkir. Hahaha… gara-gara pernyataan ini Sdr. Krispinus lalu memutuskan untuk memotong janggutnya yang sebelumnya begitu lebat ‘seperti tukang parkir’ itu.

Dalam beberapa kesempatan saya berdialog dan ber-sharing¬ dengan para suster dan karyawati. Mereka berbagi cerita pengalaman merawat anak-anak ini. Karya di tengah anak-anak ini adalah sebuah pengabdian dan pengorbanan. Ada suster yang mengungkapkan bahwa kita, khususnya para imam, kerap melupakan kenyataan bahwa mereka ini juga adalah umat Allah, umat kita. Seringkali kita kurang memberi perhatian dengan umat yang ‘berbeda’ seperti mereka ini. Padahal mereka inilah yang justru memerlukan perhatian yang lebih. Cerita berlanjut. Anak-anak ini tidak semuanya mempunyai orang tua. Karena itu tempat ini adalah sebuah asrama sekaligus pula panti asuhan. Saya mendengar cerita bagaimana anak-anak ini datang dari berbagai tempat. Ada beberapa anak yang ditemukan oleh orang lain lalu diantar ke tempat ini. Anak-anak ini dibuang oleh orang-tuanya. Pengalaman di tempat ini membuka mata saya akan realitas yang lebih luas. Pengalaman ini sangat berharga bagi saya. apalagi sebagai saudara dina Kapusin. Kebetulan hari ulang tahun saya juga jatuh pada salah satu hari ketika live in ini berlangsung. Saya bermenung, kita sebagai Saudara Dina kerap menggembargemborkan spiritualitas kita yang suka menjadi sahabat bagi orang kecil dan terpinggirkan.

Suster memberikan nasihat bila kelak saya sungguh menjadi imam. Nasihatnya, berilah perhatian kepada perkawinan, khususnya bagi orang muda. Patut memberikan sosialisasi tentang kesehatan reproduksi. Katanya, memang ada banyak faktor yang dapat membuat anak lahir tuna grahita. Salah satunya adalah akibat pernikahan terlarang. Selain karena faktor keturunan, tuna grahita juga dapat karena pernikahan sedarah (inses), pernikahan dini, dan anak yang dalam kandungan berusaha digugurkan namun gagal. Faktor-faktor lain mungkin sulit dihindari, tetapi untuk hal yang diatas menurutnya juga menjadi tanggung jawab kita untuk menanggapinya secara serius berkaitan dengan umat Katolik.

Akhirnya, saya berterima kasih kepada persaudaraan kita karena telah memberikan kesempatan berharga menggali pengalaman baru di tempat ini. Saya merasa mendapatkan semangat baru setelah bergaul dengan anak-anak di SLB ini. Dengan segala keramahan, candaan riang gembira mereka yang natural, dan segala pengalaman lain yang terlalu banyak untuk saya tuliskan dalam tulisan ini. Saya merasa kagum dengan anak-anak ini yang dalam keadaan mereka yang berbeda ini mampu menerima dirinya dengan penuh syukur. Terlebih lagi saya kagum dengan para suster yang dengan kasih rela mendampingi anak-anak ini bagaikan mengasuh anak mereka sendiri. Pengalaman di tempat ini sungguh baru dan lebih seru. Saya merekomendasikan supaya live in di komunitas karya seperti ini dapat diteruskan.

Diajak oleh suster jalan-jalan ke Graha Maria Annai Velangkanni.

Comments

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Belajar dari Kegagalan Petrus dan Para Murid

Di tepi Danau Galilea, Yesus memanggil Simon untuk mengikuti-Nya. Ia akan dijadikan penjala manusia (Mrk. 1:16-20). Simon kemudian diberi nama Kefas atau Petrus yang berarti batu wadas atau batu karang (Mrk. 3:16). Nama tersebut sebagai tanda bahwa dialah ketua para rasul dan landasan Gereja yang akan didirikan oleh Kristus (Mrk. 8:29). Petrus adalah ketua sekaligus juru bicara para murid dalam peristiwa-peristiwa penting. Dia juga orang yang pertama kali menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, yakni Kristus (Mrk. 8:29). Petrus ikut menyaksikan peristiwa transfigurasi atau pemuliaan Yesus (Mrk. 9:2-3). Namun, peristiwa penyangkalan terhadap Yesus sampai tiga kali ketika Yesus diadili merupakan pengalaman yang sangat memalukan. Pengalaman ini menumbuhkan penyesalan yang amat pahit baginya (Mrk. 14:72). Pengalaman memalukan itu diceritakan oleh Petrus kepada Markus (penginjil) bukan tanpa tujuan. Di balik penyangkalan tersebut, ada sesuatu yang ingin disampaikan Petrus kepada kita. Tidak

Katekese: Sejarah Bulan Kitab Suci Nasional

Kini kita telah memasuki bulan September. Pada bulan ini Gereja Katolik Indonesia secara khusus menaruh perhatian pada Kitab Suci. Bagi kita, bulan September adalah Bulan Kitab Suci Nasional. Di setiap keuskupan di Indonesia dilakukan berbagai kegiatan untuk mengisi bulan ini, mulai di stasi/lingkungan, wilayah, paroki, biara, maupun di kelompok-kelompok kategorial. Misalnya, lomba baca Kitab Suci, pendalaman Kitab Suci di lingkungan, pameran buku, dan sebagainya. Perayaan Ekaristi berlangsung secara meriah, diadakan perarakan khusus untuk Kitab Suci, dan Kitab Suci ditempatkan di tempat yang istimewa. Sejak kapan tradisi Bulan Kitab Suci Nasional ini berawal? Untuk apa?  Untuk mengetahui latar belakang diadakannya Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) ini kita perlu menengok kembali Konsili Vatikan II. Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II yang berbicara mengenai Kitab Suci adalah Dei Verbum (Sabda Allah). Dalam Dei Verbum para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masu

Vocation Story

Saya memakai pakaian alba di masa SMA. Masa akhir SMA memang menjadi masa di mana kita akan membuat sebuah keputusan yang besar untuk hidup kita bertahun-tahun berikutnya. Di akhir SMA kita diberi pilihan untuk melanjutkan pendidikan tinggi yang kira-kira akan menjadi gambaran profesi kita kelak. Saya menjalani pendidikan SMA di sebuah seminari menengah. Sekolah seminari yang tentu tidak asing bagi kita, karena namanya yang mashyur sebagai seminari menengah tertua di tanah Kalimantan. Sebetulnya saya pun tidak menyangka, bahwa setelah menamatkan seminari menengah, melanjutkan studi di seminari tinggi Kapusin adalah pilihan saya diantara sekian banyak tawaran setelah menamatkan SMA. Awalnya hanyalah olok-olok. Ketika akan diadakan pengukuhan Uskup Agung Pontianak yang baru, para siswa seminari diijinkan untuk menghadiri acara tersebut. Namun dengan beberapa syarat: Pertama, berangkat dengan biaya sendiri. Kedua, yang boleh berangkat ialah mereka yang akan melanjutkan ke seminari ting