Skip to main content

Mengapa Komuni adalah Tubuh dan Darah Kristus

Karena pandemi Corona, banyak keuskupan membuat kebijakan untuk menutup gereja-gereja dan meniadakan Ekaristi maupun Ibadat Sabda. Semua gereja ditutup untuk umum selama berbulan-bulan. Umat tidak bisa berkumpul untuk ibadah bersama. Para pastor dan frater pun menganggur (pada hari Minggu), karena dilarang untuk kerasulan dan mengunjungi umat di stasi-stasi. Saya sendiri seharusnya setiap hari Minggu kedua dan ketiga setiap bulan pergi kerasulan ke stasi. Ini suatu program dari kampus yang dijalani selama setahun, dan seharusnya berakhir pada bulan Juli nanti.

Semua berubah sejak pandemi Corona menyerang. Tapi, sepertinya beberapa orang mulai suka rutinitas baru mereka di hari Minggu. Umat Katolik terpaksa ikut Misa lewat streaming di YouTube atau siaran televisi. Lucunya, ada beberapa orang yang menonton misa (lewat televisi) di depan teras, sambil duduk dan minum kopi. Ada juga yang lebih memilih untuk bertahan menikmati kenyamanan dengan bersantai dan tidur. Saya mengenal beberapa orang yang selama Corona, setidaknya sudah dua bulan ini, sama sekali tidak ibadah pada hari Minggu, menonton streaming Ekaristi pun tidak. Waduh.
Karena situasi, kita telah membuat banyak penyesuaian dan punya rutinitas baru. Bagaimanapun, tentu ini bukanlah situasi yang ideal. Tapi, sepertinya sekarang orang lebih sedikit mengeluh daripada sebelumnya. Orang-orang mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat nyaman dengan apa yang kita lakukan sekarang.

Di satu sisi, itu bagus! Kenyataan bahwa kita tetap dapat terhubung dengan cara baru ini dengan baik adalah sebuah berkah. Bisa dibayangan apa yang akan kita lakukan jika pandemi ini melanda 30 tahun yang lalu, pasti situasinya akan berbeda. Dalam banyak hal pasti akan lebih sulit. Sekarang kita bisa misa secara onilne, bisa rapat, atau kuliah online lewat Zoom, dan lain-lain. Semua alternatif itu sangatlah luar biasa, benar-benar berkah. Namun, berkaitan dengan segala kenyamanan, dan apa yang harus kita lakukan akhir-akhir ini, ada satu pesan sederhana: jangan terbiasa dengan ini.

Minggu ini kita merayakan “Corpus Christi”. Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus yang tersuci. Dengan ini, kita diingatkan bahwa apa yang kita rayakan dalam Ekaristi bukanlah sekadar simbol, Ekaristi bukanlah sekedar pengingat akan Yesus, bukan sesuatu yang hanya dapat disaksikan, melainkan adalah kehadiran Kristus, yang dapat disentuh dan dicicipi, untuk disantap.

Dalam Injil, Yesus mengatakan kepada para murid bahwa Dia adalah roti yang turun dari surga dan mereka harus memakan dagingnya dan meminum darahnya. Kita, umat Katolik, dengan jelas menerima ini secara harfiah, sementara sebagian besar saudara saudari kita, umat Protestan, tidak mengakuinya. Mereka bilang bahwa dalam hal ini Yesus berbicara secara metaforis. Menurut mereka, kita perlu menerima Tuhan ke dalam hidup kita, bahwa roti dan anggur perjamuan terakhir ialah mewakili tubuh dan darah Yesus, tetapi bukan dalam arti kehadirannya yang sebenarnya.

Bisa dipahami mengapa beberapa orang pada akhirnya menafsirkan kata-kata Yesus tersebut secara demikian. Tuhan Yesus tidak mengatakan, "Lihatlah, saat kamu merayakan Ekaristi, akan terjadi 'transubstansiasi' dan meskipun itu tampak seperti roti dan anggur, itu sebenarnya akan Aku sendiri." Yesus justru mengatakan “makanlah daging-Ku dan minum darah-Ku”. Kalimat ini sejujurnya bisa menjadi pernyataan literal, juga bisa menjadi pernyataan metaforis. Memang benar, dan kita pun memang tidak mengimani Tubuh dan Darah Tuhan 100% berdasarkan teks itu sendiri.

Jadi, mengapa kita begitu pede bahwa Yesus memang berkata-kata secara harfiah? Ada dua hal: Pertama, karena tradisi. Kita tahu bahwa jemaat Kristen perdana percayanya ya begini. Faktanya, pemikiran bahwa Kristus mungkin tidak benar-benar hadir dalam perayaan Ekaristi, tidak pernah muncul secara teologis sebelum abad ke-11. Para Rasul, gereja mula-mula, dan para penerus mereka selama berabad-abad semuanya percaya akan kehadiran nyata Kristus. Lebih dari itu, Injil sendiri memberikan kita beberapa petunjuk.

Jika kita membaca seluruh Injil Yohanes, kita melihat bahwa Yesus seringkali mengatakan hal-hal yang aneh yang seringkali membuat orang menjadi salah paham. Saat dalam situasi ini, Yesus selalu memberi penjelasan dan klarifikasi. Dalam Yoh 3 misalnya, Yesus menyatakan kepada Nikodemus bahwa jika ia ingin memasuki kerajaan Allah, ia harus dilahirkan kembali. Nikodemus bingung, katanya, “Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkan ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?” Nikodemus menangkap kata-kata Yesus secara harfiah. Maka Yesus menjelaskan: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat ke dalam Kerajaan Allah." Yesus tidak berbicara tentang dilahirkan kembali secara harfiah, itu adalah sebuah metafora.

Situasi yang sama terjadi dalam Yoh 4 dalam kisah Yesus dengan wanita Samaria di sumur. Yesus mengatakan bahwa dia memiliki air hidup, bahwa siapa pun yang meminumnya tidak akan pernah mati. Wanita Samaria itu bingung, "Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?" Tetapi Yesus mengklarifikasi bahwa Dia adalah air hidup, Mesias, sumber kehidupan dan kebenaran. Dia tidak berbicara tentang air secara literal, tetapi metafora.
Pada banyak kesempatan, Yesus mengatakan sesuatu yang aneh kalau-kalau sungguhan nyata dalam hidup sehari-hari. Tetapi, Yesus selalu mengklarifikasi dan menunjukkan bahwa Ia berbicara secara metaforis. Nah, kita kembali ke bagian Yoh 6, naskahnya terbalik. Yesus berkata bahwa Ia adalah roti kehidupan. Orang-orang jadi bingung, "Bagaimana ini bisa terjadi?" dan menunggu ada klarifikasi semacam, "Oke, maksud-Ku adalah..." Tetapi, klarifikasi itu tidak pernah muncul. Bahkan ketika mereka memprotes dan berbalik dan meninggalkannya, dia tidak memberi penjelasan atau klarifikasi lebih lanjut. Justru Yesus mengatakan, "kecuali kamu memakan daging Anak Manusia dan meminum darah-Nya, kamu tidak memiliki hidup di dalam dirimu."

Setelah protes dari para murid, Yesus mengulangi lagi kata-kata ini sampai tiga kali: “makanlah daging-Ku”. Artinya, ini bukanlah metafora seperti sebelum-sebelumnya. Selama lebih dari 2000 tahun, umat Katolik berpegang pada penafsiran literal ini dan menjadi dasar bagi seluruh liturgi dan ibadah kita.
Kita adalah orang yang sensual. Manusia tidak bertahan pada hal simbolis dan abstrak belaka. Ekaristi adalah hal sakramental. Bukan hanya kata-kata, bukan hanya simbol. Sakramen mewujudnyatakan Allah yang transeden. Melalui sakramen, Allah memasuki dunia kita dengan cara duniawi. Sebagus apapun kita bisa video call dengan orang-orang yang kita sayangi, itu tidak pernah mampu menghadirkan mereka dan menggantikan kehadiran mereka secara fisik. Demikian pula bagaimana pun kita bisa ikut misa online, mendengarkan Sabda Allah dan menyaksikan adegan konsekrasi di altar, jangan terbiasa dengannya. Itu tidak cukup. Misa bukanlah latihan intelektual. Misa bukan sesuatu yang bisa kita saksikan dari jauh. Misa adalah perayaan iman yang mesti dialami secara fisik dan duniawi. Kita menerima Tubuh dan Darah Kristus ke dalam tubuh kita sendiri, menyatukan diri kita secara jasmani dengan Kristus.

Selain itu, Ekaristi dan liturgi bukanlah sebuah pengabdian pribadi. Liturgi adalah pengalaman bersama. Dalam bacaan kedua dari surat pertama ke Korintus, Rasul Paulus mengingatkan kita bahwa apa yang kita lakukan bukanlah pengalaman pribadi antara saya dan Yesus, bahwa kita datang dan mendapatkan kasih karunia dan menjalani kehidupan kita. Dengan menerima Tubuh dan Darah Kristus, kita tidak hanya mengalami Allah yang hidup di tengah-tengah kita, menjadi bagian dari dia, kita pun disatukan dan menjadi bagian dari satu sama lain. Ketika Dia memasuki kita, kita memasuki Dia, bersama-sama menjadi apa yang kita rayakan: Tubuh Kristus.

Meskipun misa dapat menjadi momen yang kuat untuk pertemuan pribadi dengan Kristus, itu adalah sifat alami yang kita lakukan bersama. Ada alasan mengapa kita menyebutnya "persekutuan." Segala sesuatu yang kita lakukan dalam misa, kita lakukan bersama. Kita bernyanyi dengan satu suara, kita merespons dengan kata-kata yang sama; fokus kita bukan hanya pada apa yang ada di atas altar, tetapi juga pada satu sama lain. Kita bertukar tanda perdamaian, kita mengoordinasikan gerakan dan postur kita untuk menjadi satu kesatuan. Ada saat-saat untuk doa pribadi yang sunyi, misalnya ketika imam mengatakan “marilah kita berdoa,” dan dalam keheningan singkat setelah kita semua menerima komuni. Tetapi, dalam saat pribadi seperti ini pun, doa-doa kita masing-masing disimpulkan oleh imam menjadi satu doa, dikumpulkan dan dipersembahkan kepada Tuhan.

Ketika kita menyebut bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan kita, kita tidak bermaksud apa yang ada di altar. Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan kita, yang kita maksudkan adalah seluruh kesepakatan, tindakan menyambut, meminta pengampunan, belajar dari firman, menerima kehadiran Kristus yang sejati, dan bersukacita bersama sebagai sebuah komunitas.

Sungguh luar biasa bahwa kita mulai bertemu secara pribadi sekali lagi untuk menerima Tubuh Kristus, untuk mengambil bagian dalam sakramen yang mulia ini. Tetapi, ada juga bahaya dalam semua ini, bahaya yang mengurangi makna sakramen Ekaristi. Ekaristi sejatinya lebih dari sekedar penerimaan komuni. Kepenuhan Ekaristi, sumber dan puncak kehidupan kita, adalah tentang apa yang ada di altar, ya, tetapi juga tentang kita berkumpul bersama untuk menjadi Tubuh Kristus: nyanyian yang dipenuhi sukacita, saling menyentuh, menerima komunia dari piala, berkomunikasi satu sama lain sebelum dan sesudah misa.

Dalam situasi sekarang ini Gereja melakukan macam-macam cara sebaik mungkin supaya perayaan iman tetap dapat dilaksanakan dan Kristus tetap hadir. Tetapi ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang masih harus kita rindukan. Jangan terbiasa dengan ini, ini bukanlah yang seharusnya. Namun, tidak peduli apa yang kita punya sekarang, bahkan jika itu hanya menyaksikan kehadiran nyata Kristus dalam ekaristi melalui layar komputer, menerima Kristus dengan doa batin, fakta bahwa Tuhan seluruh semesta, pencipta semua, memutuskan untuk menjadi bagian dari ciptaan, memutuskan untuk menyerahkan diri dalam daging untuk kita, merupakan keajaiban terbesar bahwa kita menjadi bagian dari Dia.

Ketika situasi menjadi normal nanti, sepertinya akan ada godaan untuk menjadi sedikit memandang misa sebagai rutinitas belaka, untuk mulai melihatnya sebagai sesuatu yang "harus dilakukan," untuk mulai menerima begitu saja. Seperti yang telah kita lihat belakangan ini, tidak ada yang diterima begitu saja tentang sakramen. Apa yang kita terima dalam misa dan sakramen adalah karunia dunia lain dari Allah. Ini adalah pengalaman indah yang tidak pernah kamu temukan di dunia, yang memenuhimu dengan harapan dan kegembiraan, mengubah caramu melihat dunia di sekitarmu, dan menginspirasi untuk menjadi orang yang berbeda.

Ada sebuah ungkapan dari Santo Fransiskus dari Assisi sebagai orang yang tidak pernah benar-benar melupakan kenyataan bahwa Allah mencintainya, bahwa kegembiraan awal yang ia rasakan dalam pertobatannya tidak pernah pudar. Dia melihat pencurahan Kristus dalam Ekaristi, dan dia tidak pernah terbiasa dengannya.

Para saudara, terlepas dari apa pun yang kita hadapi, jangan pernah terbiasa dengan ini. Semoga kamu selalu merasakan kekaguman dan keajaiban pertemuan dengan Kristus, semoga kamu selalu memiliki kerinduan di dalam hati untuk kepenuhan pengalaman ini, dan semoga kamu tidak pernah bosan menerima dia ke dalam hidupmu.

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Kegagalan Petrus dan Para Murid

Di tepi Danau Galilea, Yesus memanggil Simon untuk mengikuti-Nya. Ia akan dijadikan penjala manusia (Mrk. 1:16-20). Simon kemudian diberi nama Kefas atau Petrus yang berarti batu wadas atau batu karang (Mrk. 3:16). Nama tersebut sebagai tanda bahwa dialah ketua para rasul dan landasan Gereja yang akan didirikan oleh Kristus (Mrk. 8:29). Petrus adalah ketua sekaligus juru bicara para murid dalam peristiwa-peristiwa penting. Dia juga orang yang pertama kali menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, yakni Kristus (Mrk. 8:29). Petrus ikut menyaksikan peristiwa transfigurasi atau pemuliaan Yesus (Mrk. 9:2-3). Namun, peristiwa penyangkalan terhadap Yesus sampai tiga kali ketika Yesus diadili merupakan pengalaman yang sangat memalukan. Pengalaman ini menumbuhkan penyesalan yang amat pahit baginya (Mrk. 14:72). Pengalaman memalukan itu diceritakan oleh Petrus kepada Markus (penginjil) bukan tanpa tujuan. Di balik penyangkalan tersebut, ada sesuatu yang ingin disampaikan Petrus kepada kita. Tidak

Katekese: Sejarah Bulan Kitab Suci Nasional

Kini kita telah memasuki bulan September. Pada bulan ini Gereja Katolik Indonesia secara khusus menaruh perhatian pada Kitab Suci. Bagi kita, bulan September adalah Bulan Kitab Suci Nasional. Di setiap keuskupan di Indonesia dilakukan berbagai kegiatan untuk mengisi bulan ini, mulai di stasi/lingkungan, wilayah, paroki, biara, maupun di kelompok-kelompok kategorial. Misalnya, lomba baca Kitab Suci, pendalaman Kitab Suci di lingkungan, pameran buku, dan sebagainya. Perayaan Ekaristi berlangsung secara meriah, diadakan perarakan khusus untuk Kitab Suci, dan Kitab Suci ditempatkan di tempat yang istimewa. Sejak kapan tradisi Bulan Kitab Suci Nasional ini berawal? Untuk apa?  Untuk mengetahui latar belakang diadakannya Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) ini kita perlu menengok kembali Konsili Vatikan II. Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II yang berbicara mengenai Kitab Suci adalah Dei Verbum (Sabda Allah). Dalam Dei Verbum para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masu

Vocation Story

Saya memakai pakaian alba di masa SMA. Masa akhir SMA memang menjadi masa di mana kita akan membuat sebuah keputusan yang besar untuk hidup kita bertahun-tahun berikutnya. Di akhir SMA kita diberi pilihan untuk melanjutkan pendidikan tinggi yang kira-kira akan menjadi gambaran profesi kita kelak. Saya menjalani pendidikan SMA di sebuah seminari menengah. Sekolah seminari yang tentu tidak asing bagi kita, karena namanya yang mashyur sebagai seminari menengah tertua di tanah Kalimantan. Sebetulnya saya pun tidak menyangka, bahwa setelah menamatkan seminari menengah, melanjutkan studi di seminari tinggi Kapusin adalah pilihan saya diantara sekian banyak tawaran setelah menamatkan SMA. Awalnya hanyalah olok-olok. Ketika akan diadakan pengukuhan Uskup Agung Pontianak yang baru, para siswa seminari diijinkan untuk menghadiri acara tersebut. Namun dengan beberapa syarat: Pertama, berangkat dengan biaya sendiri. Kedua, yang boleh berangkat ialah mereka yang akan melanjutkan ke seminari ting